Gus Bowii
Makin kuatnya upaya pemberantasa korupsi di Indonesia sepertinya tidak lantas mengurangi atau menurunkan tingkat korupsi di Indonesia. Pengungkapan kasus-kasus korupsi dan penangkapan koruptor yang makin banyak dan level pelaku yang makin tinggi posisinya, ternyata diikuti juga dengan tetap banyaknya kasus korupsi baru. Baik di level daerah maupun di level nasional, di kalangan eksekutif maupun legislatif, bahkan di kalangan penegak hukum: jaksa, hakim yang menangani kasus korupsi, dan kepolisian dengan kasusnya terkini “Pengadaan Simulator SIM”.
Makin kuatnya upaya pemberantasa korupsi di Indonesia sepertinya tidak lantas mengurangi atau menurunkan tingkat korupsi di Indonesia. Pengungkapan kasus-kasus korupsi dan penangkapan koruptor yang makin banyak dan level pelaku yang makin tinggi posisinya, ternyata diikuti juga dengan tetap banyaknya kasus korupsi baru. Baik di level daerah maupun di level nasional, di kalangan eksekutif maupun legislatif, bahkan di kalangan penegak hukum: jaksa, hakim yang menangani kasus korupsi, dan kepolisian dengan kasusnya terkini “Pengadaan Simulator SIM”.
Pengungkapan kasus-kasus korupsi
serta penahanan para pelaku korupsi sedikit banyak memunculkan keprihatinan
atau empati pada nasib koruptor dan keluarganya, baik dari publik maupun
sahabat, kerabat dan familinya. Penahanan para pelaku korupsi membuatnya
kehilangan banyak hal, jabatan dan kekuasaan, kebebasan, kedekatan dengan
keluarga, dan lain-lain termasuk akses pada sumberdaya negara negara. Kondisi
ini tentunya memunculkan kekhawatiran para penyelenggara negara kalau-kalau
menjadi tersangka korupsi dan mengalami nasib ‘sial’ seperti para koruptor
terdahulu –ditangkap, diadil dan dipenjara, kehilangan kekuasaan dan akses
untuk eksplorasi sumberdaya negara dan
nasib keluarga menjadi sulit.
Upaya untuk mempertahankan ruang
dan akses untuk melakukan korupsi belakangan semakin masif dan dikhawatirkan
makin terintegrasi. Di kalangan pembuat undang-undang ada upaya mengurangi
wewenang KPK, sementara di kalangan penegak hukum perlawanan terhadap
pemberantasan korupsi diduga kuat dilakukan melalui upaya kriminalisasi KPK,
baik komisioner maupun penyidiknya. Dari kasus-kasus pembelaan terhadap
koruptor maupun penggalangan opini
publik dan penggalangan massa untuk membela KPK, empati atas fenomena korupsi
masih diarahkan pada mereka yang ada di atas panggung permainan, yaitu: (1)
pelaku korupsi, (2) lembaga pemberantas korupsi, (3) pembuat regulasi tentang
korupsi, (4) penegak hukum, maupun (5)
pengadil kasus-kasus korupsi. Seolah masalah korupsi berdiri sendiri dalam 2 kubu:
(1) harus diberantas atau peluangnya perlu dipertahankan sebagai insentif bagi
yang kekuatan politik dan dipercaya oleh rakyat melalui pemilu.
Ada tidaknya korupsi atau besar
kecilnya uang negara yang dikrupsi, memberikan dampak yang luas bagi kehidupan
bangsa, terutama bagi masyarakat miskin. Setidaknya, uang negara yang dikorupsi
bisa menurunkan kemampuan negara dalam menyediakan alokasi anggaran untuk
memenuhi hak-hak dasar bagi warga negara, terutama masyarakat miskin. Sepertinya
para koruptor belum punya pemahaman bahwa uang negara yang mengalir ke
rekening pribadinya bisa membuat masyarakat menjadi makin miskin. Bahkan cengkeraman rantai siklus kemiskinan kepada keluarga miskin makin kuat.
Rendahnya atau tidak adanya pemahaman tentang efek korupsi dan kemiskinan ini
tentu saja menghambat tumbuhnya empati penyelenggara negara agar mengalokasikan
uang negara untuk membebaskan masyarakat miskin dari kemiskinannya. Perspektif “memenuhi hak dasar warga negara dengan uang
negara” dikalahkan oleh perspektif “memperkaya diri dengan uang negara”.
Di tataran regulasi, komitmen negara
untuk memastikan warga negara mendapatkan hak-hak dasar sangat kuat. UUD 1945 sudah diamandemen dan mewajibkan negara untuk memenuhi hak-hak dasar
tersebut. Ini bisa dilihat pada pasal 28 yang menyatakan jaminan tentang
Hak Asasi Manusia ke dalam 10 pasal baru dari 28 A sampai dengan 28 J. Di paruh
kedua tahun 2005 penyelenggara Negara RI juga meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak
Ekonomi Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 tahun 2005. Pengesahan
ini merupakan sikap jelas bahwa penyelenggara negara Indonesia berkomitmen untuk menyediakan pendidikan bermutu, layanan kesehatan memadai, tempat tinggal layak, maupun pekerjaan yang layak bagi warga negara. Bagi keluarga miskin difasilitasi modal untuk mengembangkan usaha dan maupun keterampilan kerja agar bisa membebaskan diri dari belenggu kemiskinan.
Komitmen tersebut juga nampak
pada alokasi anggaran untuk layanan pendidikan dan kesehatan. Meskipun begitu, komitmen pemenuhan hak warga negara dan memfasilitasi keluarga miskin bebas dari rantai kemiskinan masih bersaing dengan hasrat untuk korupsi, -baik untuk kesejahteraan pribadi maupun kebutuhan modal politik. Dalam konteks ini kemiskinan bukan cuma tidak mendapatkan empati, bahkan justru menjadi pesaing bagi koruptor karena bisa mempersempit kesempatan korupsi. ***
No comments:
Post a Comment