Gus Bowii
Dalam
10 tahun terakhir, komitmen negara untuk mengentaskan kemiskinan membesar secara
signifikan. Dari aspek anggaran komitmen pemerintah RI untuk upaya ini sangat
tinggi, dari tahun 2004 sampai 2011, alokasi untuk pengentasan kemiskinan
meningkat drastis sebesar 400%. Hanya saja besarnya anggaran tersebut tidak diimbangi
penurunan angka kemiskinan, dalam periode yang sama angka kemiskinan di
Indonesia hanya turun sebesar 3,37%. Kuat diduga target Milenium Development Goal
untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia menjadi sebesar 7,5% di tahun 2015
tidak akan tercapai.
Menimbang
sinyal tersebut pemerintah mengalokasikan anggaran lebih besar di APBN tahun
2013. Untuk tahun 2013 sudah dianggarkan sebesar 106.8 triliun yang 2 kali
lipat dari anggaran pengentasan kemiskinan di tahun 2007 yang sebesar 53,1
Triliyun. Untuk tahun 2014 mendatang, upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan menjadi fokus utama
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2014, bersama dengan upaya pengurangan
pengangguran dan stabilitas harga. Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas),
Armida di awal April 2013 menyatakan bahwa pemerintah RI ingin betul-betul
mencapai target peningkatan kesejahteraan rakyat, menurunkan angka kemiskinan sampai
level 10 persen di akhir 2014.
Lingkar Setan Kemiskinan
Tantangannya,
pengentasan kemiskinan tidaklah semudah menentukan jumlah alokasi anggaran dan
menetapkan target-target persentasi yang harus dicapai. Seringkali kemiskinan
tidaklah sesederhana tampaknya, ada aspek laten yang perlu lebih dipahami. Kemiskinan
bisa dipahami sebagai kondisi dimana keluarga mempunyai pemghasilan rendah dan
tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar untuk berkembang menjadi lebih
baik dan melepaskan diri dari kemiskinan. Keluarga miskin terjebak dalam 2
lingkaran yang membuat mereka sulit bebas dari jerat kemiskinan. Jebakan pertama, mereka mempunyai keterbatasan absolut
untuk meningkatkan status ekonominya. Kapasitas yang terbatas menyulitkan
mereka untuk mendapatkan pekerjaan untuk mendapat upah layak. Di sisi lain mereka
juga lebih sulit lagi untuk mengembangkan usaha mandiri untuk keuntungan memadai.
Selain terbatas kemampuan teknis, kebanyakan keluarga miskin tidak punya
tabungan untuk modal usaha dan juga tidak punya aset layak yang bisa dijadikan
agunan untuk meminjam uang dari bank.
Jebakan
kedua, keluarga miskin sulit untuk
memenuhi kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anaknya menjadi manusia dewasa
yang berkualitas. Keluarga miskin banyak yang tinggal di lingkungan yang kurang
sehat, banyak yang dekat dengan potensi bencana. Kebanyakan keluarga miskin sulit
mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas, serta sulit memenuhi standar
makanan bergizi untuk anak-anaknya. Di beberapa daerah fenomena ini manifes
dalam kejadian busung lapar yang mengenaskan. Hal tak kalah penting lain yang
menjadi jebakan kemiskinan adalah keluarga miskin sulit untuk mengakses pendidikan
berkualitas bagi anak-anaknya karena kemampuan keluarga yang terbatas.
Kondisi
kesehatan dan gizi yang di bawah standar serta keterbatasan akses pada pendidikan
berkualitas menjadikan mayoritas anak keluarga miskin terhambat untuk berkembang
menjadi manusia dewasa yang kompetitif. Bisa disimpulkan bahwa selain gagal
menyediakan lapangan kerja dan kesempatan mengembangkan usaha bagi
keluarga-keluarga miskin, pemerintah juga gagal menyediakan layanan pendidikan bermutu
bagi anak-anak keluarga miskin untuk berkembang menjadi manusia dewasa yang
berkualitas dan memiliki daya saing tinggi di dunia kerja.
Memutus Siklus
Kemiskinan
Ada
dua jalur yang harus dibangun secara paralel untuk memfasilitasi keluarga
miskin agar bisa terbebas dari kemiskinan. Pertama,
kebijakan yang bisa meningkatkan pendapatan keluarga miskin, baik melalui
penciptaan lapangan kerja maupun memfasilitasi keluarga miskin untuk
mengembangkan usaha mandiri yng mampu memberikan profit yang layak. Kedua, kebijakan yang memastikan
anak-anak dari keluarga miskin di mana pun berada bisa hidup di lingkungan yang
sehat, mendapatkan asupan gizi yang memadai, mendapatkan layanan kesehatan yang
layak dan bisa mengakses pendidikan minimal untuk bisa masuk dunia kerja atau
mampu mengembangkan diri sebagai manusia dewasa yang mumpuni.
Dua jalur ganda
tersebut sebenarnya sudah menjadi komitmen negara Republik Indonesia. Secara peraturan perundang-undangan, komitmen
ini nyata dengan adanya ratifikasi perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi
Sosial Budaya melalui UU Nomor 11 tahun 2005. Dengan mengesahkan perjanjian
internasional ini Pemerintah RI berjanji untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar
warga negara, diantaranya sangat berkaitan erat dengan pengentasan kemiskinan, yaitu
jaminan mendapatkan pekerjaan yang layak (pasal 6), hak
atas standar kehidupan yang memadai (pasal 11), hak
menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi (pasal 12), dan hak
atas pendidikan (pasal pasal 13 dan pasal 14).
Lebih mendasar
lagi komitmen ini juga tertuang di dalam UUD 1945 hasil 4 kali amandemen. Di
pasal 28 a sampai 28 j, jelas dinyatakan komitmen negara RI untuk menjamin
pemenuhan hak warga negara. Di tataran lebih kongkret, komitmen ini tampak dari
program-program pengentasan kemiskinan dan program-program yang memastikan
keluarga miskin mendapatkan pelayanan dasar. Ada program peningkatan kapasitas
ekonomi masyarakat, salah satunya PNPM Mandiri, ada program untuk pendidikan
(BOS), ada program layanan kesehatan bagi masyarakat miskin (Jamkesmas) dan
lain-lain.
Hanya
saja, hingga kini komitmen besar dalam upaya pengentasa kemiskinan dengan jalur
ganda tersebut masih bertumpu pada komitmen pemerintah pusat dan banyak yang
masih bersifat programatik. Komitmen pemerintah daerah masih terbatas, padahal
pelayanan publik menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Ada beberapa daerah
yang membuktikan komitmen memberikan layanan kesehatan dan pendidikan melebihi
standar nasional, tapi sejauh ini masih di skala percontohan, dalam arti masih
dilakukan oleh sangat sedikit daerah. Sudah begitu, praktek-praktek baik ini belum
dilakukan oleh pemerintah di daerah-daerah tertinggal yang angka kemiskinannya
tinggi.
Hal
ini tentu saja berbahaya. Di satu sisi pelayanan publik bagi masyarakat yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah, cenderung masih dilakukan oleh
pemerintah pusat yang tidak bisa lebih memahami tantangan dan potensi riil di
daerah. Bahaya lain juga tersimpan di dalam sifat upaya penanggulangan
kemiskinan dan pemenuhan hak-hak dasar melalui pelayanan publik yang bersifat
programatik. Program-program pengentasan kemiskinan ada masanya berakhir dan
upaya pengentasan kemiskinan bisa kembali pada kondisi sebelum program
diselenggarakan.
Upaya Sistemik dan
Berkelanjutan
Agar
capaian-capaian upaya pengentasan kemiskinan bisa memberikan pengaruh lebih
besar, perlu dilakukan upaya lebih sistemik. Ada beberapa hal yang penting
dilakukan: Pertama, program-program
yang sedang berjalan diupayakan menjadi prioritas dalam rencana pembangunan di
daerah, baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Kedua, Komitmen pemenuhan hak dasar dan
pengentasan kemiskinan harus menjadi komitmen kongkret elit politik daerah
dalam bentuk peraturan daerah. Peraturan daerah ini akan menjadi regulasi yang
menjamin upaya pengentasan kemiskinan dan pemenuhan hak dasar melalui pelayanan
publik tetap berjalan, tidak tergantung pada partai yang dominan di parlemen dan
kepala daerah yang terpilih. Ketiga,
harus ada lembaga kuasi negara yang menjamin komitmen di dalam rencana
pembangunan dan regulasi berjalan. Lembaga ini harus memberikan kesempatan
kepada masyarakat sipil untuk terlibat dan menjadi representasi dari masyarakat
sipil sebagai entitas pemilik hak yang harus dipenuhi oleh negara. Keempat, komitmen alokasi anggaran untuk
pengentasan kemiskinan melalui jalur ganda tersebut harus dimandatkan di dalam
peraturan daerah.
Dengan
upaya sistemik melalui Rencana Pembangunan, Peraturan Daerah, kelembagaan dan
kebijakan anggaran, upaya pengetasan kemiskinan akan berjalan secara
reguler, kontinyu, menghasilkan dampak akumulatif serta tidak tergantung
pada kebaikan figur pemimpin yang niscaya berubah.***
No comments:
Post a Comment