Agus Wibowo
Di awal abad 16, pesisir utara Pulau Jawa banyak dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang cepat setelah pudarnya kerajaan Majapahit. Di sebelah timur dan tengah pelabuhan-pelabuhan dibawah kendali KeKesultanan Demak, di sisi bagian tengah sampai barat dikuasai Kesultanan Cirebon, dan di Ujung Barat Pulau Jawa pelabuhan-pelabuhan dikuasai Kesultanan Banten. Dari sedikit pelabuhan yang belum dikuasasi oleh kerajaan Islam adalah Sunda Kelapa di muara Kali Ciliwung. Sunda Kelapa masih dibawah kontrol kekuasaan Kerajaan Sunda yang berpusat di pedalaman, di hulu Kali Ciliwung, di Bogor sekarang.
Di awal abad 16, pesisir utara Pulau Jawa banyak dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang cepat setelah pudarnya kerajaan Majapahit. Di sebelah timur dan tengah pelabuhan-pelabuhan dibawah kendali KeKesultanan Demak, di sisi bagian tengah sampai barat dikuasai Kesultanan Cirebon, dan di Ujung Barat Pulau Jawa pelabuhan-pelabuhan dikuasai Kesultanan Banten. Dari sedikit pelabuhan yang belum dikuasasi oleh kerajaan Islam adalah Sunda Kelapa di muara Kali Ciliwung. Sunda Kelapa masih dibawah kontrol kekuasaan Kerajaan Sunda yang berpusat di pedalaman, di hulu Kali Ciliwung, di Bogor sekarang.

Untuk tetap mempertahankan akses ekonomi ke Laut Jawa, Kerajaan Sunda berupaya memperkuat Sunda Kelapa, agar tidak jatuh ke poros Demak-Cireon-Banten. Mendapat informasi bahwa ada kekuatan besar yang berkuasa di Malaka, Raja Sri Baduga mengutus Pangeran Surawisesa untuk melakukan kontak dan lobi untuk membangun kekuatan militer di Sunda Kelapa. Kekuatan Militer Portugis yang berkuasa di Semenanjung Malaka terterik untuk bekerjasama dengan Kerajaan Sunda. Jika Kerajaan Sunda punya kepentingan untuk mempertakankan akses ekonomi ke Laut Jawa, Portugis berkepentingan untuk menjamin mendapat akses perdagangan lada dari timur nusantara menuju Selat Malaka melalui Laut Jawa.
Kesepakatan pun berhasil dibuat pada tahun 1522. Komandan Benteng Malaka mengirimkan Armada kapal laut, dengan membawa barang-barang berharga untuk dipersembahkan pada Prabu Surawisesa yang sudah menjadi Raja Sunda. Surawisesa sepakat dengan perjanjian persahabatan dengan raja Portugal dan memberikan tanah di mulut Ci Liwung sebagai tempat berlabuh kapal-kapal Portugis. Dokumen kontrak dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal, yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522. Selain kontrak perjanjian, kesepakatan ini juga didokumentasikan dalam bentuk Prasasti yang terbuat dari tugu batu. Prasasti ini terbuat dari batu setinggi 165 cm. Di bagian atas prasasti ada gambar bola dunia dengan garis khatulistiwa dan lima garis lintang sejajar. Lambang ini sering digunakan pada masa pemerintahan Raja Manuel I dan João III dari Portugal. Di atas lambang tersebut terdapat gambar trefoil kecil, yaitu tumbuhan dengan tiga daun. Pada baris pertama tulisan prasasti tersebut terdapat lambang salib, dan di bawahnya terdapat tulisan DSPOR yang merupakan singkatan dari Do Senhario de Portugal (penguasa Portugal). Pada kedua baris berikutnya terdapat tulisan ESFERЯa/Mo yang merupakan singkatan dari Esfera do Mundo (bola dunia) atau Espera do Mundo (harapan dunia).
Benteng dan
gudang yang disepakati untuk dibangun oleh Portugis tidak terwujud. Parjanjian
Kerajaan Sunda dengan Portugis ini membuat Koalisi Demak-Cirebon-Banten marah
dan memutuskan untuk menguasai Sunda Kelapa. Pada tahun 1527 armada laut
Portugis kembali mendarat di Sunda Kelapa dan disambut oleh pasukan Banten yang
sudah menguasai Sunda Kelapa. Tidak menduga bahwa yang menyambut bukan pasukan
dari Kerajaan Sunda, Armada Portugis tidak siap menghadapi serangan koalisi
Demak-Cirebon-Banten dan pasukan Portugis pun bisa diusir dari Sunda Kelapa.
Sunda Kelapa pun dibawah kontrol sepenuhnya Kesultanan Banten dan dipimpin oleh
Pangeran Jayakarta. Tanggal 22 Juni 1527 kemudian ditetapkan sebagai hari lahir
Kota Jakarta, diidentikkan dengan penguasa pertama setelah pengusuran Armada
Portugis, yaitu Pangeran Jayakarta.
Prasasti
Sunda Kelapa berbentuk tugu batu (padrao) ini kemudian ditemukan pada tahun
1918 ketika wilayah muara Kali Ciliwung ini dikuasai oleh VOC Belanda dan
dinamakan sebagai Batavia. Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan
penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Jalan Cengkeh dan Jalan Kali
Besar Timur I, Jakarta Barat. Prasasti Tugu Batu ini disimpan di Museum
Nasional Republik Indonesia.
Prasasti
Tugu Batu yang dibuat oleh Portugis dan Kerajaan Sunda ini menjadi bukti
otentik dan penanda kontrol penuh Kerajaan Islam atas Pesisir Utara Jawa, dan
tertutupnya akses Kerajaan Sunda ke Laut Jawa. Tapi kontrol pesisir utara Jawa
oleh Koalisi Demak-Cirebon-Banten ini tidak berlangsung lama. Kekuasaan Demak
menyusut sepeninggal Sultan Trenggono dan meninggalkan pewaris tahta yang masih
balita. Kekuasaan berpindah ke Pajang dan kemudian berpindah ke kekuasaan
Mataram yang lebih mengembangkan kekuasaan militer darat. Pada tahun 1619 Jan
Pieterszoon Coen dari Kerajaan Belanda menghancurkan Jayakarta dan mengganti
nama Jayakarta menjadi Batavia. Pada tahun 1942 nama Batavia diganti menjadi
Jakarta oleh militer Jepang.
Jakarta
menjadi medan perebutan pengaruh, kontrol dan kekuasaan. Prasasti Tugu Batu
menjadi salah satu penanda. Jakarta dianggap lahir 5 tahun setelah pendirian
Prasasti Tugu Batu tersebut. 22 Juni 2016 Kota Jakarta memperingati ulang
tahun ke 489, mendekati 5 abad. Dirgahayu Jakarta.
No comments:
Post a Comment