Agus Wibowo
Pada awal 2014 lalu Pemerintah RI menetapkan
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang mulai berlaku pada tahun
2015. Disahkannya Undang-Undang ini diharapkan menjadi titik awal berkembangnya
kemandirian desa-desa di Indonesia. Di dalam pasal 4 UU ini, salah satu tujuan
penataan desa disebutkan untuk “meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat
desa, sebagai bagian dari ketahanan nasional”. Tulisan ini dimaksudkan sebagai
inspirasi tentang desa mandiri yang ada di Jaman Majapahit.
Dalam sejarah Kerajaan Majapahit disebut beberapa
nama desa, diantaranya Desa Kudadu, Desa Sukamerta, Desa badander, Desa Wringin
Pitu, dan Desa Jiwu. Desa Kudadu dan Desa Sukamerta diketahui karena kedua desa
ini mendapatkan penghargaan dari Rajasa Jayawardhana, atau Raden Wijaya,
sebagai daerah perdikan yang masing-masing dikukuhkan dengan Prasasti Kudadu
dan Prasasti Sukamerta. Desa Badander diketahui perannya dalam sejarah
Majapahit karena menjadi tempat persembunyian Raja kedua Majapahit, Jayanegara
waktu terjadi pemberontakan Kuti yang berhasil menguasai istana kerajaan di
Trowulan. Desa Wringin Pitu dikenal karena dikukuhkan menjadi daerah perdikan
oleh Raja Majapahit ke-8, Kertawijaya. Yang terakhir Desa Jiwu tertulis di
dalam Prasasti Jiwu yang diberikan oleh nGirindrawardhana, raja terakhir
Majapahit.
Desa-desa tersebut mempunyai jasanya
masing-masing sehingga layak mendapatkan penghargaan dari kerajaan. Dalam
Prasasti Kudadu yang dibuat pada tahun 1294 menyebutkan bahwa “para pejabat di
Kudadu mendpat anugerah raja adalah karena mereka telah berjasa memberikan
perlindungan dan bantuan bagi raja sewaktu belum menjadi raja dengan nama
Nararyya Sanggramawijaya”. Perlindungan pemerintah desa Kudadu ini dilakukan ketika
Raden Wijaya dikejar oleh Pasukan Jayakatwang sewaktu melakukan penyerangan ke
Istana Singasari yang menyebabkan tewasnya Raja Kertanegara. Berkat
perlindungan pemdes selama bersembunyi di Desa Kudadu, Raden Wijaya berhasil
menuju ke pantai untuk melanjutkan pelarian dengan berlayar ke Sumenep di Ujung
timur Madura.
Kisah Desa Sukamerta juga berkaitan dengan
pelarian Raden Wijaya yang dikejar-kejar pasukan Jayakatwang. Bedanya, apabila
pemerinah desa Kudadu memberikan perlindungan selama persembunyian, Kepala Desa
Sukamerta ikut dalam pelarian Raden Wijaya, bahkan ikut sampai mengarungi laut
menuju ujung timur Pulau Madura untuk meminta perlindungan kepada Aria
Wiraraja. Penghargaan kepada Desa Sukamerta dikukuhkan melalui Prasasti
Sukamerta yang dibuat oleh Raden Wijaya pada tahun 1296.
Desa Badander disebutkan di dalam kitab Pararaton
sebagai tempat raja Jayanegara diungsikan oleh Gajahmada sewaktu pemberontakan Kuti
berhasil menguasai istana majapahit. Selama Raja Jayanegara disembunyikan di
Desa Badander, Gajahmada melakukan strategi penggalangan keluarga dan pejabat Kerajaan
Majapahit sampai bisa menumpas pemberontakan Kuti, dan Raja Jayanegara bisa
kembali menduduki tahta di istana Majapahit. Hanya saja tidak ditemukan
prasasti atau pengukuran penghargaan bagi desa yang terletak di wilayah Mentahun
atau Kabupaten Bojonegoro kini.
Desa Wringin Pitu diberikan penghargaan oleh
kerajaan karena peran desa ini sebagai salah satu tempat pemujaan bagi ayah Hayamwuruk
wafat yang wafat di sana. Penetapan penghargaan menjadi perdikan dharma Rajasakusumaputra sudah
ditetapkan oleh neneknya
Sri Rajasaduhiteswari, tetapi baru dibuat prasastinya pada tahun 1447 oleh Raja
ke-8 Kertawijaya.
Penghargaan
kepada Desa Jiwu diberikan oleh Girindrawardhana, Raja Majapahit terakhir, pada
tahun 1486 melalui Prasasti Jiwu. Anugerah
yang diberikan berupa tanah di Trailokyapuri kepada seorang brahmana terkemuka,
Sri Brahmaraja Ganggadara yang telah berjasa kepada raja pada waktu perang
melawan Raja Majapahit yang bertahta di Trowulan, Bre Kertabhumi pada tahun
1478. Berkat kemenangan ini, Girindrawardhana yang bertahta di Daha berhasil
menyatukan kembali Majapahit di bawah pemerintahannya.
Di
mana kemandirinya?
Desa-desa yang dikukuhkan menjadi desa perdikan
atas jasa-jasanya mendapatkan beberapa hak, salah satunya menurut Prasasti
Wringin Pitu diantaranya, diberikan hak atas lahan lebih luas, dibebaskan dari
pajak dan pungutan, dan boleh mengadakan pengadilan terhadap tindak kejahatan
yang terjadi di dalam wilayah tersebut. Dengan diberikan lahan lebih luas dan
dibebaskan dari keharusan membayar pajak dan upeti, desa mempunyai kemandirian untuk
mengembangkan ekonomi desa. Diberikannya hak bagi pemerintah desa untuk
membuat pengadilan di level desa untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah
dan masyarakat desa untuk menyelesaikan tindak kriminal, konflik atau gangguan
keamanan lain di level desa sedari dini.
Kini desa-desa di Indonesia diberikan otonomi
yang luas melalui UU tentang desa dan diberikan juga transfer dana lebih besar,
baik alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun proporsi
minimal 10% dari dana perimbangan daerah yang diterima dari Pemerintah Pusat. Dengan
alokasi dan menguatkan kemandirian yang
besar, desa desa bisa membangun kemandirian dalam membangun tradisi dan budaya,
memanfaatkan potensi desa menjadi produk khas desa, menguatkan ekonomi desa dan
meningkatkan pelayanan publik agar bisa lebih menjangkau masyarakat marginal, juga
untuk menguatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa.
Nah, seperti apa kemandirian yang berkaitan
dengan katahanan sosial budaya ini? Hal ini paling tidak berkaitan dengan
kemampuan desa dalam mencegah dan menhadapi ancaman yang bisa merusak
kemandirian ekonomi dan ketenteraman masyarakat, seperti: bencana alam/sosial, tindak
kriminal, maupun tindak kekerasan di masyarakat –terutama kekerasan kepada
perempuan dan anak. Seperti desa perdikan di masa Majapahit yang bisa
melaksanakan pengadilan sendiri untuk tindak kejahatan atau konflik yang
terjadi desa, desa yang mandiri sangat penting punya institusi yang mampu
berperan mencegah dan menghadapi bencana, serta mampu berperan mencegah dan menangani
tidak kriminal, maupun meresolusi konflik di desa, yang terhubung dengan
institusi serupa yang sudah ada di level daerah.
Kemandirian sosial budaya sangat penting karena
bisa melindungi kemandirian ekonomi desa, yang bisa runtuh dalam waktu singkat apabila
tidak punya kemampuan melakukan mitigasi bencana dan tindak kriminal –baik untuk
mencegah maupun menghadapi dan mengurangi dampak. ***
No comments:
Post a Comment