![]() |
Agus Wibowo
Bagi orang Jepang, apalagi dari
golongan Samurai, janji atau ikrar berarti kesiapan untuk mati. Sebab, bila
janji atau ikrar tidak terpenuhi, keyakinannya menuntut untuk ber-seppuku,
membelah perut sendiri dengan sebilah pisau, tanpa perlu paksaan fisik atau
ancaman senjata. Bahkan, bila penagih janji mencegahnya pun, kematian akan
tetap dijalanani. Bagi mereka mati dengan ksatria jauh lebih baik daripada
tidak bisa menaruh muka karena beban rasa malu dan bersalah. Di situlah letak
nilai tanggungjawab dan kekesatriaan.
Tentu saja di sini ana nilai lain
yang justru jauh lebih penting daripada sekedar kesiapan untuk mati dan
kewajiban untuk bunuh diri, yaitu proses sebelum kematian menjadi keharusan,
dalam hal ini “waktu yang harus diisi dengan berusaha keras, membanting tulang,
memeras keringan, disertai perencanaan yang matang untuk kemudian bisa memenuhi
janji.
Eiji Yoshikawa dalam eposnya
berjudul Taiko menggambarkan sebuah contoh yang baik tentang hal ini.
Ceritanya, ketika masih muda dan masih menjadi pengabdi Gubernur Nobunaga,
Hideyoshi (pemersatu Jepang pada abad ke-16 dan kemudian menjadi shogun)
berjanji menyelesaikan pembangunan benteng marga Oda dalam tempo tiga hari.
Padahal, menurut pemborong semula, pembangunan itu memerlukan waktu minimal 20
hari.
Tak satu pun yang percaya
Hideyoshi akan berhasil, malah banyak yang mencibir sambil bersyukur karena
akan hilang satu saingan. Gubernur Nobunaga pun membujuknya agar membatalkan
janji karena khawatir akan kehilangan pengikut terbaik. Tapi Hideyoshi tetap
pada pendiriannya bahwa pembangunan benteng marga Oda bisa selesai dalam tiga
hari. Janji Hideyoshi bukanlah sekedar persoalan teknis pembangun konstruksi
benteng, melainkan sebuah keharusan bahwa benteng harus selesai dalam tiga hari
karena serangan dari lawan akan segera datang. Apabila benteng tidak siap dalam
3 hari, apalagi harus menunggu 20 hari, marga Oda akan tergilas oleh serangan
besar dari Klan Imagawa yang menyerang dengan kekuatan 40 ribu pasukan.
Para pekerja pembangunan benteng
diajak bekerja keras dan diyakinkan bahwa jika benteng tidak selesai pada
waktunya, Marga Oda tidak akan mampu bertahan. Dengan ketulusan dan kemampuan
pidatonya yang didukung informasi valid dari para ninja yang melaporkan gerakan
pasukan musuh, para pekerja bersedia melanjutkan pekerjaan, disukung ribuan
prajurit yang bekerja siang malam, pembangunan benteng Marga Oda selesai tepat
dalam tiga hari. Ketika serangan musuh datang, pasukan Samurai Marga Oda berhasil
bertahan dan mencapai kemenangan.
***
Sungguh sangat disayangkan bahwa
keteladanan pemersatu wilayah nusantara ini, Gajah Mada, tidak terpelirahara
sebagai cerita, dongeng, atau legenda keteladanan. Usaha kerasnya, banting
tulang dan mandi keringat yang dijalaninya setelah “Sumpah Palapa” tidak
terceritakan dan dijadikan teladan. Pun sikap ksatrianya dengan menarik diri
dari dunia politik karena kesalahannya atas peristiwa “Perang Bubat”. Dia rela
menjadi penanggung gugat walau sebenarnya peristiwa yang menyebabkan gugurnya
Dyah Pitaloka ini bukan atas komandonya sebagai panglima tertinggi.
Dari beberapa contoh kejadian
belakangan, bukan Cuma tidak terlembagakannya dan tidak adanya keteladanan
budaya tanggungjawab yang terjadi. Pemberangusan budaya tanggungjawab pun
terjadi. Pembatalan kemenangan warga Kedungombo oleh tim khusus Mahkamah Agung
sangat bisa jadi membuat masyarakat menjadi apatis dengan apa itu tanggung
jawab dan lembaga peradilan. Di Maluku Tenggara, di Watlaar, Keu Besar dan
Yamdena, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), yaitu Skephi menemukan
praktek pencerabutan budaya tanggungjawab secara lebih kongkret. Kejadiannya,
setelah hutan adat dijadikan hutan lindung oleh Departemen Kehutanan tanpa
melalui musyawarah dengan masyarakat setempat, masyarakat justru menjadi
bingung ketika terjadi pencurian kayu atau jenis perusakan hutan lainnya.
Sebab, pemeilikan dan tanggungjawab atas atas hutan tersebut telah hilang.
Kini ada sesuatu yang patut
disyukuri berkaitan dengan persoalan sikap dan perilaku disiplin serta tanggung
jawab di negeri ini. Dengan dicanangkannya Gerakan Disiplin Nasional oleh
Presiden Soeharto pada 20 Mei 1995 lalu, tatanan sosial yang lebih baik bisa
diharapkan. Tapi tentu saja pencanangan itu hanyalah sebuah moment yang tidak
bisa berarti “simsalabim” bagi tukang sulap apalagi “kun fayakun”. Sebab, pada
saat yang sama dan setelahnya, hingga kini, para sopir angkot masih suka
berhenti di sembarang tempat, para kondektur bus kota masih suka tidak
membagikan karcis kepada penumpang, beberapa oknum polisi membiarkan pelanggar
lalu lintas lewat setelah menerima seceng
atau goceng dan sebagainya.
Artinya, masih diperlukan proses
yang memakan waktu panjang dan kesabaran sebelum disiplin nasional bisa
tercipta. Ini bukan Cuma dalam arti tertib berlalu lintas, tertib antre, atau
tidak membuang sampah di sembarang tempat, melainkan juga, dan terlebih, dalam
arti terciptanya etos kerja yang penuh kesungguhan dan kerja keras, penghargaan
pada waktu, kebiasaan menepati janji, serta sikap dan perilaku penuh
tanggungjawab lainnya. Tidak ada cara selain keharusan adanya langkah konkret.
Di sini pencanang dituntut untuk
memulai dengan membuat masyarakat bangsa ini mengerti dan memahamiapa itu
disiplin. Bukan sekedar dalam tindakan verbal seperti selama ini terjadi. Bukan
dengan memobilisasi kalimat-kalimat ajaib menjelang dan sekitar ulang tahun
kemerdekaan emas. Melainkan dengan tindakan nyata dan formulai kalimat yang,
kata Sapardi Djoko Damono, harus mengandung kekuatan emosional. Kalimat “Dengan
semangat 50 tahun RI kita tingkatkan disiplin nasional” tentu tidak akan
membuat masyarakat mengerti apa itu disiplin secara empiris, seperti budaya
malu yang sekedar terucapkan.
Ada langkah-langkah politik da
nada lagkah-langkah budaya. Secara politik adalah tuntutan bagi para pemimpin
pemerintahan Negara ini untuk mendisiplinkan para aparat birokrasinya, yang
tidak cukup dengan seruan moral. Di sini secara empiris para pemimpin dituntut
untuk menunjukkan apa konsekuensi dari sikap dan perilaku disiplin dan
sebaliknya. Secara budaya, keteladanan dari para pemimpin merupakan suatu
tuntutan mutlak. Sebab, dari sanalah masyarakat yang hendak didisiplinkan tahu
dan mengerti apa itu disiplin, bagaimana melaksanakannya, apa konsekuensi
menjalankan atau tidak, dan seterusnya.
Yang terakhir, selain dua dimensi
di atas, ada dimensi satu lagi yang perlu diperhatikan, yaitu kesadaran
sejarah. Malam masyarakat bangsa ini sangat kelihatan menonjolnya kesadaran
momen. Orang baru rame-rame mengecat rumah, membangun pagar dan sebagainya
menjelang hari kemerdekaan dan sebagainya.
Itu tidak jauh berbeda dengan
cerita Mahapatih Gajah Mada yang berhasil mempersatukan wilayah Nusantara tanpa
terceritakan upaya kerasnya, kecerdikannya, keuletannya –yang membuat
masyarakat berpikir ahistoris, tanpa bisa memahami apa itu proses yang harus
diisi dengan kerja keras yang berkesinambungan. Dan seperti Ken Arok yang diceritakan
bisa menjadi Raja Singasari hanya dengan membunuh Tunggul Ametung dengan
sebilah keris Ampu Gandring, masyarakat pun terbiasa mengharapkan datangnya
keajaiban, nasib, dan keberhasilan yang kebetulan.
* Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Budaya
Majalah Matra, edisi bulan Desember 1995.
No comments:
Post a Comment