Judul: Sejarah Panjang Mataram. Penulis: Ardian Kresna. Penerbit: DIVA Press
Yogyakarta. Edisi: November 2011.
Sesuai judulnya, buku ini banyak mengulas sejarah
Kerajaan Mataram dari masa Panembahan Senopati yang belum menggunakan gelar
sultan, masa Sultan Agung raja kedua, masa Sunan Amangkurat I dan Pemberontakan
Trunojoyo, dan periode perebutan kekuasaan sampai terbentuk dua kerajaan yaitu
Kesunanan yang beepusat Surakarta dan Keaultanan yang berpusat di Yogyakarta.
Buku ini juga mengisahkan secara detil terbentuknya daerah otonom di bawah
Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarya setekah Perjanjian Giyanti yang
dibuat antara VOC dengan Pangeran Mangkubumi dan disetujui oleh Sunan
Pakubuwono III.
Babak sejarah di masa Kerajaan Mataram memiliki sumber
sejarah yang jauh berbeda dengan sejarah masa kerajaan Kahuripan sampai
Kerajaan Majapahit. Sejarah Kerajaan Mataram bersumber pada catatan yang dibuat
oleh beberapa pihak, baik catatan kerajaan, naskah perjanjian maupun catatan dan
surat menyurat tentara dan pejabat VOC. Ini sangat berbeda dengan sejarah
sampai Kerajaan Majapahit yang sangat mengandalkan prasasti batu yang tertimbun
tanah karena dokumen yang tertulis di daun lontar sedikit yang ditemukan.
Dinamika kehidupan kerajaan dan peristiwa penting
banyak yang mencatat, dan bisa dikonfirmasi laporan dan surat menyurat tentara
dan pengawai VOC yang bertugas di wilayah Mataram. Peristiwa tragis di awal
Sunan Amangkura I dikisahkan dalam buku ini, diantaranya pembunuhan semua
pejabat kerajaan di masa Sultan Agung dan pembantaian ribuan ulama yang sangat
dihargai dan diistimewakan di masa Sultan Agung. Sunan Amangkurat I digambarkan
cukup panjang dan detil, tentang Pemberontakan Trunojoyo yang mendapatkan
banyak dukungan, pengungsian Amangkurat I menuju Batavia untuk mendapatkan
perlindungan dari VOC, dan janji-janjinya kepada VOC untuk memberikan banyak
wilayah, termasuk tanah Parahyangan dan Ujung Timur Jawa yang sempat dikuasai
di masa Sultan Agung.
Akhir masa pemerintahan Amangkurat I menjadi titik awal
masuknya campur tangan VOC dalam konflik kekuasaan di Kerajaan Mataram. Putra
Mahkota Pangeran Adipati Anom yang diangkat menjadi Amangkurat II melanjutkan
kebijakan Amangkurat I untuk meminta bantuan VOC untuk menumpas pemberontakan
Trunojoyo yang merebut istana Pleret di Surakarta. Sementara Pangeran Puger
yang berpihak kepada Trunojoyo menobatkan diri menjadi Raja Mataram
menggantikan Amangkurat I dengan Gelar Pakubuwono, sejak saat ini Kerajaan
Mataram mempunyai dua raja, yaitu Amangkurat II yang ada di pelarian dan
meminta perlindungan ke VOC dan
Dengan bantuan pasukan VOC, Amangkurat II akhirnya
berhasil mengalahkan Trunojoyo, dimana tentara VOC berhasil menangkap Trunojoyo
yang memusatkan kekuasaannya di Kediri. Atas jasa besar ini, VOC pun menguasai
wilayah Parahyangan dan ujung timur Jawa Timur sampai Blambangan.
Selain mendapatkan konsesi wilayah yang luas di Pulau
Jawa, VOC juga mempunyai ruang lebih besar untuk ikut campur dalam politik di
kerajaan Mataram. Intervensi VOC ini kemudian selalu hadir dalam perebutan
kekuasaan Mataram di periode berikutnya, sampai puncaknya di Perjanjian
Giyanti.
Perjanjian Giyanti menegaskan pembagian kerajaan
Mataram menjadi dua, yang berpusat di Surakarta dengan raja bergelar Pakubuwono
dan satu lagi di Yogyakarta dengan raja bergelar Sultan Hamengkubuwono (hal
124). Perjanjian yang dibuat dari perundingan antara VOC dengan Pangeran
Mangkubumi dan disetujui Pakubuwono III ini juga meneguhkan kekuasaan VOC untuk
intervensi pada dua kerajaan Mataram. Pasal 3 dan 4 menyatakan bahwa pejabat
kerajaan harus menyatakan sumpah setia kepada VOC dan pasal 5 menyatakan bahwa
sultan akan mengampuni bupati yang memihak Kompeni atau VOC.
Setelah Perjanjian Giyanti penulis lebih condong
menuliskan tentang Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku
Buwono. Buku ini secara gamblang menjelaskan sejarah Kerajaan Mataram, bahkan
sampai masa reformasi, sampai ketika masyarakat DI Yogyakarta melakukan gerakan
mempertahankan Keistimewaan Yogyakarta di masa Pemerintahan SBY. Bisa
dikatakan, buku ini mengisahkan sejarah kerajaan dengan perspektif dan cara
bertutur yang lebih mudah dipahami oleh generasi saat.
Buku ini juga bisa memberikan perspektif lain yang
lebih jujur tentang politik devide at
impera. Faktanya, seringkali VOC terlibat dalam perebutan kekuasaan oleh
salah satu pihak dan bukan sebaliknya. Memecah beah dan menguasai bukanlah
monopoli penjajah Belanda melainkan praktek yang dijalankan oleh siapa pun yang
terlibat di dalam perebutan kekuasaan, termasuk dalam sistem demokrasi, dimana
persaingan perebutan kekuasaan dilakukan melalui pemilihan langsung oleh
rakyat.
No comments:
Post a Comment