Agus Wibowo
Kerajaan Medang Wangsa Isyana yang dibangkitkan kembali oleh Mpu
Sindok di Jawa Timur mencapai puncak kejayaan pada raja keempat, Darmawangsa
Teguh. Bukan hanya bisa bertahan dari serangan Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan
Medang berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Timur, dan bisa
membangun koalisi dengan Kerajaan Bedahulu di Pulau Bali melalui perkawinan
Raja Udayana dengan Mahendrata, adik Darmawangsa. Dengan kekuatan koalisi tersebut,
Darmawangsa bisa mengusir Wangsa Syailendra kembali ke Kerajaan Sriwijaya,
bahkan bisa melakukan serangan melalui laut ke pusat Kerajaan Sriwijaya di
Pulau Sumatera.

Dalam situasi aman dan damai, Kerajaan Medang mau memperkokoh
koalisasi dengan mengawinkan putri Darmawangsa dengan putra Raja Bedahulu, yang
juga keponakannya, yaitu Erlangga. Tapi pesta pernikahan Putri Raja Darmawangsa
dan Putra Raja Udayana di puncak kejayaan ini berakhir tragis.
Di saat
pesta pernikahan sedang berlangsung pada tahun 1016, istana Kerajaan Medang
diserang oleh Raja Wurawari dari Kerajaan Lawram yang merupakan sekutu Kerajaan
Sriwijaya yang ada di daerah Cepu, Kabupaten Blora saat ini. Istana Kerajaan
Medang yang ada di Wwatan daerah Maospati Kabupaten Magetan hancur, banyak
keluarga kerajaan yang terbunuh, termasuk Raja Darmawangsa. Kerajaan Medang di
Jawa Timur hancur di puncak kejayaan, bahkan kehancurannya dikenal sebagai
peristiwa "maha pralaya", mengingat banyaknya korban dan terbunuhnya
sang raja. Peristiwa ini ditulis di dalam Prasasti Pucangan yang dibuat oleh
Raja Erlangga 26 tahun kemudian, pada tahun 1042.
Peristiwa
serupa terjadi pada Kerajaan Singasari yang dipimpin Raja Kertanegara di tahun
1292. Ketika sedang bersuka cita atas keberhasilan ekspedisi Pamalayu ke
Kerajaan Darmasraya di Pulau Sumatera, istana Kerajaan Singasari yang sedang
berpesta diserang oleh Adipati Gelang Gelang yang tidak lain adalah kakak
iparnya, Jayakatwang. Dalam serangan diam-diam dan mendadak ini, Raja
Kertanegara tewas di istana dan tiga putrinya ditawan oleh Jayakatwang.
Peristiwa ini dikisahkan dalam Serat Pararaton dan Kakawin Negarakertagama, dan
dituliskan dalam prasasti yang dibuat oleh Raja Majapahit pertama, Kertarajasa
Jayawardana, diantaranya Prasati Kudadu.
Dua
peristiwa tragis dari sejarah Indonesia masa kehidupan monarki di atas
merupakan pelajaran penting dalam menyikapi kemenangan dan kejayaan dalam
persaingan kekuasaan. Kemenangan dalam perang menyisakan dendam yang
menumpuk potensi pembalasan, sedangkan kekuasaan yang teramat besar, yang
menampakkan kejayaan, bisa membuat terlena. Nasihat RA Kartono, kakak RA
Kartini, tentang "menang tanpa merendahkan (ngasorake)" bisa jadi
dirumuskan berdasarkan perenungan atas tindakan merendahkan pada diri pemenang yang
menimbun dendam pada lawan dan sikap merasa jaya yang menurunkan kewaspadaan.
Dalam peristiwa Maha Pralaya, penguasa Kerajaan
Medang di istana Wwatan dalam kondisi sangat kuat karena ancaman terberat dari
Wangsa Syailendra berhasil diusir jauh ke Pulau Sumatera. Ternyata ancaman
mematikan bisa datang dari kekuatan yang tidak diduga, yaitu dari kerajaan
kecil Lawram yang ternyata adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Ketika dalam
suasana merayakan pesta perkawinan, pasukan Lawram menghancurkan Kerajaan
Medang dalam satu hari. Pada peristiwa hancurnya Kerajaan Singasari, Raja
Kertanegara juga merasa kuat dan aman. Dia mengirimkan pasukan dalam jumlah
besar dan kuat untuk Ekspedisi Pamalayu ke Pulau Sumatera, karena merasa
terlindungi oleh para kerabat dan sekutunya. Ternyata serangan mematikan justru
datang dari kerabat dekat, yaitu Jayakatwang, saudara ipar yang menjadi suami
kakak perempuannya. Kedekatan dengan Jayakatwang juga dikukuhkan dengan
mengikat perltalian besan dengan mengawinkan putri Kertanegara dengan putra
Jayakatwang, Ardaraja. Serangan melalui operasi senyap oleh Jayakatwang dan
pasukannya membuat Istana Kerajaan Singasari hancur dan Raja Kertanegara tewas
di singgasana.
Pelajaran dalam Berdemokrasi
Kejayaan dan kelengahan seperti jadi dua sisi
mata uang, demikian juga penindasan atau pelecehan dan dendam. Apa yang diamalami Raja Darmawangsa dan Raja
Kertanegara, bisa menjadi pelajaran penting bagi penguasa yang berhasil
menghimpun kekuatan besar di masa kini, dalam sistem demokrasi sekalipun.
Dukungan besar dari mayoritas anggota parlemen, support dari media massa yang
kuat, serta back up dari partai politik yang bisa menggalang kekuatan dari
daerah tidak menjamin kekuasaan bebas dari ancaman. Harus diingat bahwa
anacaman bisa datang dari lawan yang tampak lemah, sekutu yang balik badan,
pendukung yang menjerumuskan, bahkan pengikut setia yang berkhianat.
Ada hal lebih penting selain memperkuat yang
sudah kuat, yaitu melakukan usaha terbaik dalam memenuhi hak-hak warga negara,
mengembangkan potensi ekonomi, memperluas kesejahteraan, dan membangun kualitas
sumber daya manusia (SDM) warga negara melalui pendidikan dan pekerjaan yang
bermutu. Kekuatan di parlemen yang sudah mayoritas tidak urgent untuk
diperbesar yang malah menciptakan ketimbangan, dukungan media massa yang sudah
besar tidak perlu diperbesar sampai semua media jadi pendukung, dan monopoli
atas kekuatan penegak hukum tidak perlu digunakan secara masif untuk melemahkan
lawan.
Kekuatan yang terlalu besar dan lawan yang
terlalu lemah akan juga melemahkan kontrol. Setidaknya, kata Lord Acton, "absolute power corrupts absolutely"
niscaya terjadi. Jika sudah terjadi pembusukan karena beragam korupsi, tinggal
menunggu munculnya kekuatan penghancur yang tidak terduga datangnya. Bisa dari
lawan yang menyimpan dendam, rakyat yang marah, sekutu yang berkhianat, atau
pendukung setia yang ingin memperbesar kekuasaan sendiri.***
No comments:
Post a Comment