Wawancara RM Bastian Hendro Wibowo, Keturunan Ke-6 Raja Solo
Pakubuwono IV
Sistem demokrasi di Indonesia memiliki pondasi monarki dengan sejarah panjang. Siatem monarki ada yang eksis secara fisik dan
ada juga yang terlibat dalam proses demokrasi. Keluarga kerajaan, banyak
yang menjadi elit daerah. Salah satu keluarga kerajaan yang masih ada kini adalah
Keraton Surakarta. Meakipun tidak memiliki status keistimewaan seperti
Keaultanan Yogyakarta, keraton Solo masih punya istana, punya raja, dan banyak
anggota keluarga yang tinggal dalam benteng Keraton. Untuk mengetahui apakah
Keraton Surakarta masih memiliki pengaruh dalam proses demokrasi di Indonesia,
redaksi 1000monarki.com melakukan wawancara dengan keturunan keenam raja Solo, Pakubuwono
IV, yaitu Raden Mas Bastian Hendro Wibowo. Berikut petikan wawancara.
Menurut anda bagaimana
peran politik Keraton Solo saat ini?
Entek, habis.
Menurut saya keberhasilan RI dalam kooptasi Solo itu tuntas. Melalui UU PA
selesai, kemudian pabrik gula dinasionalisasi. Tanpa sadar diposisikan hanya
sebagai cagar budaya. Dulu ada seperti Gusti
Giri, tapi sekarang tdak ada. Bahkan di kancah politik daerah tidak bisa
bersaing.
Tidak bisa bangkit
lagi?
Menurut saya habis, bahka asset-aset tanah juga habis, sudah
banyak dijual. Sekarang ini ibaratnya tinggal sisa-sisa, puing-puing. Kejam, tapi
begitulah adanya.
Sangat berbeda dengan Kesultanan
Jogja..
Intinya kerajaan ada tatanan, ada teritori, ada rakyatnya.
Jogja masih punya ketiganya. Kedua, daya tawar Jogja ada dukungan Kerajaan
Inggris. Apabila diganggu, Inggris bertindak. Di masa perang kemerdekaan,
Ibukota pernah dipindah ke Jogja, Keraton Jogja ini tidak akan diserang oleh
Belanda. Paling dikepung, tapi tidak ada peluru yang ditembakkan.
Anda sering pergi
daerah, di seluruh Indonesia, bagaimana Anda melihat kehidupan keluarga
kerajaan di Daerah? Mereka punya pengaruh kuat meskipun tidak punya teritori
jelas seperti Jogja..
Pertama, Karena
memang kerajaan-kerajaan kecil, mereka dekat dengan rakyat. Kedua, ini juga masalah jangkauan dari
pusat yang jauh. Watak rakyat yang patronistik melihat elit yang dekat mereka dan tidak melihat elit yang jauh di Jakarta. Ini terjadi di Sulawesi, di Sumba, di
Maluku Utara. Keluarga Kerajaan sebagai elit daerah dekat dengan rakyat
sehingga tetap mempunyai legitimasi politik di mata rakyat.
Apakah mereka dinilai
memberikan manfaat kongkret?
Adat istiadat masih dijaga, raja sering tampil dalam banyak
upacara adat. Mereka juga manguasai asset tanah yang luas, masih pakai konsep
tanah ulayat, tidak tergerus oleh nasionalisasi lahan melalui UU Pembaruan
Agraria. Konsentrasi UUPA dulu memang di Pulau Jawa, karena ada Kerajaan Besar,
sehingga harus dipotong dengan pengalihan asset. Di Solo adat istiadat juga
penting. Celakanya, raja waktu itu di masa Orde Baru, Pakubuwono XII tidak
hadir. Dia lebih senang di Jakarta. Rakyat anggap raja tidak peduli.
RM Bastian Hendro
Wibowo dari lahir sampai lulus SMA tinggal di dalam komplekbTamtaman, Baluwarti
di dalam benteng keraton Surakarta. Dia adalah anak kedua dari 5 anak
laki-laki, sama dengan Bima dalam Pandawa. Bahkan wetonnya sama dengan Bima,
yaitu Rebo Wage. Di tahun 1983, RM Bastian memberikan kritik keras kepada raja Pakubuwono
XII dalam Pisowanan Agung . Intinya kritiknya raja hanya terlalu turuti
kesenangan sendiri dan tidak pedulikan rakyat. Sejak peristiwa ini RM Bastian
yang waktu ini maaih SMP mendapat julukan baru, yaitu Ki Murdaloka.
Di Keraton Solo
beberapa kali terjadi perebutan kekuasaan. Apa yang diperebutkan?
Ya.. sepertinya 1,8
sampai 3 miliar alokasi dana dari APBN dan APBD, untuk dukungan sebagai warisan
budaya. Ada juga pabrik gula yang sudah dinasionalisasi oleh Pemerintah RI,
dimana Keraton masih mendapatkan bagian. Mungkin juga status sebagai keraton, dan
bisa memberikan status bangsawan.
Indonesia negara republik tapi banyak monarki di bawahnya. Apa kontribusinya?
Mereka terutama jadi simpul-simpul suara dalam mendapatkan
suara di pemilihan. Saya punya pertanyaan, "Republik itu kan berarti
dikembalikan kepada rakyat". Nah sejauh mana rakyat punya ruang untuk membentuk
kebijakan. Yang ada kan elit saja, mereka yang mempunyai kedaulatan. Peran elit
bisa dilihat dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Pilihan elit daerah
banyak diikuti oleh pemilik suara. Di Pulau Jawa agak berbeda, peran elit dari keluarga
kerajaan tidak begitu kuat.
Apakah ada unsur atau nilai-nilai
monarki di dalam partai?
Iya, menurut saya partai politik kental dengan nilai-nilai
monarki, yaitu “monarki tanpa wilayah”. Partai dibangun atas kepentingan
segolongan, padahal partai adalah kebutuhan publik.
Pendekatan monarki di
dalam partai bukannya berguna untuk proses suksesi yang berkualitas?
Masalahnya proses tidak dilakukan melalui penjaringan minat
dan bakat melainkan like dan dislike. Ini anakku, putra mahkota. Ada Agus Yudoyono,
ada Puan Maharani. Di ormas juga ada, misalnya Yeni Wahid. Mereka punya posisi
dan pengaruh kuat dalam kontestasi demokrasi karena pengaruh orang tuanya.
Menurut anda, tetap
republik atau membangunkan monarki?
Menurut saya revolusi sosial dulu diselesaikan. Kita belum
tuntas. Implikasinya, cepat atau lambat, kita bisa seperti Negara Eropa. Aceh
sendiri, Jawa sendiri, ada Sulawesi. Banten Sendiri. Karena proses bernegara
yang belum tuntas, karena dianggap mahal dan beresiko banyak korban. Sehingga konflik yang bisa mengarah
pada dihasilkannya komitmen, deal antara para pihak, tidak terjadi. Proses yang terjadi tidak seperti itu. Setelah
terbentuk satu kekuasaan nasional, dilakukanlah peredaman konflik melalui berbagai
upaya. Entitas komponen bangsa, termasuk kerajaan yang ada sebelumnya tidak diberi kesempatan untuk membuat kesepakatan tentang Indonesia. Banyak yang tahunya sudah ada Republik Indonesia dan dipaksa menjadi bagian di dalamnya.***
No comments:
Post a Comment