Agus Wibowo
Dari akhir abad 10 di
masa Mpu Sindok Raja Medang sampai akhir abad 14 di masa Raden Wijaya Raja
Mapahit, ada 7 kota yang dibangun sebagai ibukota kerajaan besar di Jawa Timur.
Kota pertama adalah Kota Tamwlang dan Wwatan sebagai ibukota Kerajaan Medang. Kota
kedua adalah Watan Mas dan Kahuripan yang dibangun Erlangga. Kota tiga adahah
Daha di Kediri yang dibangun untuk Kerajaan Panjalu. Yang keempat adalah Kota
Tumapel menjadi ibukota Kerajaan Singasari, dan kelima Kota Tarik dan Trowulan
yang menjadi ibukota Kerajaan Majapahit.
Tamwlang dan Wwatan Ibukota Medang Wangsa Isyana
![]() |
Gunung Lawu |
Bukti lain, berdasarkan Prasasti
Pucangan yang dibangun oleh Erlangga pada tahun 1042, persaingan antara
Kerajaan Medang dengan Wangsa Syailendra terus berlangsung setelah keluarga
Kerajaan Medang melakukan eksodus ke Jawa Timur. Di masa kejayaan Kerajaan
Medang Darmawangsa berhasil mengusir pasukan Wangsa Syailendra dari Jawa
Tengah, sehingga bergeser ke Jawa Barat, bahkan kembali ke Kerajaan Sriwijaya
di Palembang.
Eksodus keluarga Wangsa Sanjaya
ini dipimpin oleh Mpu Sindok, pembesar kerajaan yang bergelar Mahamantri I Hino
pada saat Rakryan Dyah Balitung, Rakryan Dyah Tulodong sampai Rakryan Dyah Wawa
menjadi Raja Medang. Eksodus dilakukan setelah tewasnya Dyah Wawa yang satu
tahun menjadi Raja.
Berdasarkan Prasasti Turyyan yang
dibuat Mpu Sindok, rombongan Kerajaan Medang membangun kota baru di Tamwlang,
yang kini dikenal sebagai Desa Tembelang di Kabupaten Jombang. Prasasti Turyyan
juga menyebut bahwa raja Medang adalah Mpu Sindok yang bergelar Sri Isyana
Wikramadharmottunggadewa. Menurut ahli sejarah, hal ini menandai Mpu Sindok
memproklamasikan wangsa sendiri yaitu Wangsa Isyana. Karena beberapa
pertimbangan, Kota Tamwlang dipindahkan ke Wwatan di daerah Maospati di
Magetang, di dekat Gunung Lawu. Eksodus ke Wwatan dilakukan kemungkinan karena
lokasinya yang terlalu dekat dengan Kali Brantas yang mudah dijangkau oleh
angkatan laut Kerajaan Sriwijaya yang mendukung Wangsa Syailendra di Jawa
Tengah. Hal ini terbukti beberapa tahun kemudian, ketika terjadi perang di
Anjukladang. Pasukan laut Kerajaan Sriwijaya yang masuk melalui Kali Brantas
bergerak melalui darat ke arah barat dan dihadang oleh pasukan Medang di Desa
Anjukladang, di Kabupaten Nganjuk. Atas kesetiaan dan jasa penduduk
Anjukladang, Pu Sindok memberikan anugrah sima perdikan yang dikukuhkan dalam
Prasasti Anjukladang.
Di kota barunya di Wwatan,
Kerajaan Medang bisa membangun pertahanan yang kuat, menciptakan keamanan, dan
membangun kekuatan militer untuk melakukan ekspansi perluasan wilayah. Di abad
10 pembangunan kota mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: aspek
pertahanan, ketersediaan air dan kesuburan wilayah. Dari arah barat dan selatan
Wwatan terlindung oleh Gunung Lawu, sedangkan dari Timur, Wwatan cukup jauh
dari Kali Brantas dan Pasukan Medang didukung oleh penduduk desa-desa yang ada.
Di masa konflik bersenjata, aspek pertahanan menjadi pertimbangan utama dam
membangun kota.
Watan Mas dan
Kahuripan, Ibukota Kerajaan Erlangga
![]() |
Prasasti Pucangan |
Dalam penyerangan Pasukan Aji Wurawari dari Kerajaan Lawram
di tahun 1006 yang menghancurkan ibukota Kerajaan Medang di Wwatan, Erlangga
dan istrinya berhasil melarikan diri dengan pengawalan guru Erlangga, bernama
Narotama. Mereka terus bergerak menghindari kejaran pasukan Kerajaan Lawram dan
Kerajaan Sriwijaya, berpindah-pindah dari Gunung Lawu, Wonogiri, Madiun,
Ponorogo, Kediri, Jombang sampai Gunung Penanggungan di Mojokerto. Setelah tiga
tahun melanglang buana dari hutan ke hutan dan dari gunung ke gunung, Erlangga
berhasil mengumpulkan sisa-sisa keluarga dan pasukan Kerajaan Medang yang
tercerapi berai. Erlangga membangun kota baru di lereng Gunung Penanggungan,
yang memiliki perlindungan alam yang cukup baik. Kota baru bagi Kerajaan Medang
ini dinamakan Watan Mas, mengingat nama kota Wwatan, kota Kerajaan Medang di
Maospati Kabupaten Magetan.
Dari Istana Watan Mas, Erlangga membangun kembali kekuatan
militer Kerajaan Medang dan menyatukan kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya
menjadi bawahan Kerajaan Medang. Erlangga mengirim utusan ke berbagai penjuru
wilayah, termasuk ke Malang, dan Tulungagung di Selatan, ke Arah Timur sampai
Bali dan ke arah barat, salah satunya ke Kerajaan Hasin. Cukup banyak kerajaan
yang menolak menjadi bawahan Eralangga, menantu Raja Darmawangsa. Kondisi ini
membuat Erlangga harus melakukan ekspansi militer untuk menaklukkan
kerajaan-kerajaan yang tidak mau menjadi koalisi. Erlangga melakukan
penyerangan ke Lodoyong di daerah Tulungagung dan Blitar, memerangi Kerajaan
Hasin di barat dua kali dan memerangi Kerajaan Lawram yang menaklukan Kerajaan
Medang di tahun 1006.
Ekspansi militer oleh Erlangga semuanya berhasil kecuali
penyerangan ke Lodoyong. Kerajaan yang dipimpin oleh Ratu pengikut Dewi DUrga
ini bahkan bisa melakukan serangan balasan. Pada saat Erlangga mengerahkan
pasukan secara besar-besaran untuk ekspansi ke Kerajaan Lawram, pasukan
Kerajaan Lodoyong melakukan penyerangan ke Watan Mas dan menghancurkan istana
Medang yang tidak terjaga dengan dengan maksimal. Setelah berhasil menaklukan
Kerajaan Lawram pada tahun 1032, dan mengetahui istananya hancur, Erlangga
membangun kembali istana di Kahuripan sebagai ibukota Kerajaan Medang. Kota
baru di Kahuripan yang mulai ditempati pada tahun 1036 ini membuat Kerajaan
Medang yang dipimpin Erlangga kemudian dikenal sebagai Kerajaan Kahuripan.
Pembangunan ibukota kerajaan Kahuripan yang di dekat Sungai
Brantas dan dekat laut ini kemungkinan dipertimbangkan berdasar dua fakta,
yaitu: Kerajaan Lawram sudah ditaklukkan dan ancaman kekuatan militer laut
Kerajaan Sriwijaya sudah hancur karena dihancurkan oleh Kerajaan Cola Mandala
dari India. Kerajaan Medang yang dibangun sebagai kerajaan berbasis gunung
berubah menjadi Kerajaan Kahuripan yang memiliki basis pertanian sekaligus
mengembangkan basis maritim. Dengan membangun basis maritime, Kerajaan
Kahuripan menjual produk pertanian ke luar Pulau Jawa dan lebih bisa
mengendalikan perdagangan produk-produk dari luar Pulau, termasuk dari China
dan India.
Di masa tua putra-putrinya telah besar, Erlangga membagi
Kerajaan Kahuripan menjadi dua, yang diberikan kepada dua putranya, yaitu:
Smarawijaya dan Mapanji Garasakan. Erlangga melepaskan kekuasaannya sebagai
raja dan kembali ke Gunung Penanggungan sebagai resi.
Daha, Kota Baru untuk
Kerajaan Panjalu di Kediri
![]() |
Candi Ijo di Kediri/Iyum |
Pada usia 55 tahun, Raja Erlangga yang berkuasa di Kahuripan
telah berhasil membangun kejayaan Wangsa Isyana di Jawa Timur dan ingin
berhenti menjadi raja dan menjadi resi atau istilah ngetopnya “lengser keprabon
mandeg pandito”. Hanya saja dia menghadapi situasi rumit karena persaingan dua
orang putranya. Satu putra dari premaisuri bernama Smarawijaya dan satu putra
dari istri lain yang bernama Mapanji Garasakan. Putri sulungnya yang diharapkan
bisa menjadi penggantinya dengan legitimasi yang kuat tidak bersedia menjadi
pemimpin kerajaan, malah memutuskan menjadi resi di usia muda.
Erlangga juga berusaha melakukan pendekatan ke Bali, dimana
dia mempunyai ha katas tahta Bedhahulu, karena Erlangga adalah putra mahkota di
sana. Tapi Kerajaan Bedahulu ternyata sudah diwariskan kepada adiknya. Karena
tidak mempunya pilihan yang lebih baik, Erlangga akhirnya memutuskan untuk
membagi Kerajaan menjadi dua. Dengan bantuan Mpu Barada, pendeta kerajaan,
Erlangga membangi Kerajaan Kahuripan menjadi 2 kerajaan, yaitu Jenggala dan
Panjalu. Kerajaan Jenggala memiliki wilayah di timur Gunung Kawi sedangkan
Kerajaan Panjalu memiliki wilayah yang terbentang di barat Gunung Kawi,
termasuk wilayah Kediri.
Kerajaan Jenggala diberikan kepada Mapanji Gasarakan yang
berkuasa di Kota Kahuripan yang sudah ada, sedangkan Kerajaan Panjalu harus
membangun kota baru. Kota baru ini akhirnya dibangun di daerah Kediri, tepatnya
di Daha. Istana Daha dibangun di sisi barat Kali Brantas yang membelah wilayah
Kediri. Ibukota Kerajaan Panjalu dibangun berdasarkan pertimbangan agar
kerajaan ini bisa mengontrol wilayah selatan, mempunyai akses ke laut melalui
Kali Brantas, dan bisa mengembangkan ekonomi pertanian.
Kota Daha sebagai ibukota kerajaan kemudian terbukti
bertahan sampai beberapa abad kemudian. Ketika Raja Jayabaya berhasil
menyatukan Kerajaan Panjalu dan Jenggala, ibukota tetap di Daha Kediri. Ketika
Kerajaan Singasari mengalahkan Kertajaya di tahun 1222, Ken Arok tetap
menjadikan Daha sebagai kota penting dan menempatkan putranya, Mahisa Wong
Ateleng, sebagai raja muda yang berkedudukan di Daha. Ketika berhasil
mengkudeta Kertanegara sebagai Raja Singasari, Jayakatwang menamakan kerajaan
sebagai Kediri dan tetap berpusat di Daha. Eksistensi Kota Daha bahwa tetap
sampai Jaman Majapahit, dimana Daha menjadi salah satu istana Raja kerajaan
bawahan yang ditempati oleh keluarga raja.
Pada saat Kerajaan Majapahit memiliki dua raja, yaitu Bre
Kertabumi dan Singhawikramawardhana, Kota Daha menjadi pusat pemerintahan
Majapahit barat. Ibukota terkhair Majapahit justru tetap di Daha ketika
Girisawardhana berhasil menyatukan kembali Majapahit di tahun 1478. Kota Daha tetap popular di abad 17 ketika
Trunojoyo memberontak kepada Amangkurat I yang berkuasa di Kerajaan Mataram.
Tumapel, Ibukota
Singasari yang Dibangun Tunggul Ametung
![]() |
Candi Singasari di Singasari Malang |
Penyerangan pasukan Jenggala karena marah pada Kertajaya yang
merebut tahta Kerajaan Panjalu, membuat pasukan Kertajaya di Kediri kocar kacir
dan Kertajaya lari ke selatan, sampai daerah Sendang Sekapat di Trenggalek.
Dari daerah ini Kertajaya mendapatkan perlindungan penduduk dan membangun lagi
kekuatan militernya. Pasukannya bisa merebut kembali Kota Daha dari pasukan
Jenggala dan kembali berkuasa Panjalu. Atas jasa penduduk daerah Sendang
Sekapat, Kertajaya memberikan anugerah sima perdikan kepada para tokoh desa,
yang dikukuhkan dengan membangun prasasti batu di Desa Kemulan pada tahun 1194.
Lebih jauh, Pasukan Kediri yang dipimpin oleh Tunggul
Ametung berhasil menyelinap langsung dan menyerang istana Jenggala di
Kahuripan. Keluarga Kerajaan Jenggala pun banyak yang menyelamatkan diri ke
hutan, termasuk rajanya, Sri Maharaja Baginda. Atas jasanya yang gemilang,
Kertajaya mengangkat Tunggul Ametung menjadi Adipati di bekas wilayah Kerajaan
Jenggala, untuk mencegah kebangkitan keluarga kerajaan di timur Gunung Kawi
tersebut. Tunggul Ametung tidak menempati istana Jenggala di Kahuripan
melainkan membuka daerah baru di Tumapel, mulai dari membuka hutan dan
membangun desa.
Pararaton menyebut Tunggul Ametung sebagai akuwu atau kepala
desa di Tumapel padahal dia adalah seorang adipati, kemungkinan karena pusat
kekuasaan yang ditempati merupakan peemukiman yang baru di buka yang lebih
mirip sebagai desa. Kota baru di bekas wilayah Jenggala yang dikontrol oleh
Tunggul Ametung lebih mendekati hulu Kalu Brantas di dataran tinggi Malang dari
Kahuripan yang dekat dengan hilir, bahkan, muara Kali Brantas.
Setelah Tunggul Ametung tewas dibunuh pada tahun 1200, dia
digantikan oleh Ken Arok sebagai adipati, istana kadipaten tetap di Tumapel.
Setelah Ken Arok mendeklarasikan kemerdekaan Tumapel pada tahun 1204 dan
mengklaim wilayah bekas Kerajaan Jenggala, ibukotanya tetap di Tumapel. Bahkan
setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Panjalu dan menyatukan ke dalam satu
kerajaan di tahun 1222, Ken Arok tetap memimpin kerajaan di Istana Tumapel.
Kota Tumapel tetap menjadi ibukota kerajaan ketika Ken Arok
terbunuh dan digantikan oleh Anusapati, putra Tunggul Ametung dan Ken Dedes.
Posisi Tumapel tidak tergoyahkan setelah Anusapati digantikan putranya,
Wisnuwardhana, yang kemudian menamakan kerajaannya sebagai Kerajaan Singasari.
Ibu kota Kerajaan Singasari tetap di Tumapel sampai Kertanegara berkuasa dari
tahun 1268 sebelum pemberontakan Jayakatwang di tahun 1292.
Waktu Jayakatwang berkuasa selama satu tahun, ibukota
kerajaan dipindahkan ke Daha dan nama kerajaan menjadi Kediri. Setelah Jayakatwang
dikalahkan oleh Sangrama Wijaya, yang oleh Kitab Pararaton disebut sebagai
Raden Wijaya, pusata kerajaan dipindahkan ke daerah yang sama sekali baru, di
Desa Majapahit yang dibuka di hutan Tarik. Ibukota baru untuk kerajaan baru
yang dinamakan Majapahit ini terletak di dekat hilir Kali Brantas, dekat dengan
kita lama di Kahuripan. Meskipun begitu, Kota Tumapel yang berubah menjadi
Singasari sesuai dengan nama Kerajaan Singasari, tetap menjadi kota penting.
Kota Singasari menjadi ibukota kerajaan bawahan Majapahit
yang dipimpin keluarga raja Majapahit. Bahkan hingga kini Kota Singasari masih
eksis, menjadi ibukota Kecamatan di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
Lokasinya di sebelah timur Kota Batu dan dilewati jalan utama Surabaya – Malang.
Tarik dan Trowulan, Ibu
Kota Kerajaan Majapahit
![]() |
Situs Kolam Segaran di Trowulan |
Setelah diterima untuk mengabdi kepada Jayakatwang atas
jaminan Aria Wiraraja, Sangrama Wijaya bekerja di ibukota Kerajaan Kediri. Dia dipercaya
untuk ikut membangun kekuatan kerajaan Kediri yang baru saja direbut
Jayakatwang dari Raja Singasari, Kertanegara. Jayakatwang tahu betul Sangrama
Wijaya yang cucu Mahisa Cempaka juga punya rasa kecewa pada Kertanegara. Dalam
simulasi perang maupun adu ketangkasan beladiri, Sangrama Wijaya selalu unggul
dan makin disayang oleh Jayakatwang.
Ketika Sangrama Wijaya usul untuk membangun taman wisata
berburu di hutan Tarik, Jayakatwang tidak keberatan. Aria Wiraraja mengerahkan
pasukan dari Madura untuk membuka hutan Tarik, membangun persawahan, permukiman
dan membangun tempat penggemblengan pasikan serta latihan perang tersembunyi.
Menurut Kitab Pararaton, Sangrama Wijaya datang ke Desa Majapahit 10 bulan
kemudian setelah padi sudah menguning di sawah yang baru dibuka.
Setelah melihat perkembangan di Desa Majapahit, terutama
kekuatan pasukan yang dihimpun, Wijaya menyampaikan ke Aria Wiraraja bahwa
mereka bisa mengalahkan pasukan Jayakatwang yang sudah diamati dan diukur
selama satu tahun. Penyerangan ke Kediri akhirnya dilakukan dengan melibatkan
pasukan Mongol yang datang untuk menghukum Kertanegara.
Setelah menang perang dan mengusir pasukan Mongol, Desa
Majapahit dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaan baru, yaitu Kerajaan
Majapahit. Ibukota baru ini keluar dari dua kota yang sudah ada terkenal
sebelumnya, yaitu Kota Singasari di selatan dan Kota Daha di Kediri.
Kota Majapahit yang dibangun di Hutan Tarik menjadi ibukota
Kerajaan Majaoahit sampai tahun 1323 ketika Majapahit dipimpin Raja Jayanegara.
Setelah istana sempat dikuasai pemberontak yang dipimpin oleh Ra Kuti pada
tahun 1319, Jayanegara memutuskan untuk membangun kota baru di Trowulan, yang
berjarak kurang lebih 10 kilometer arah barat daya Tarik. Pemindahan kota ini
tersirat di dalam Prasasti
Sidateka yang dikenal juga sebagai Piagam Tuhanyaru. Prasasti yang
terdiri dari empat lempeng tembaga ini merupakan dokumen pemberian tanah sima
perdikan kepada pejabat Kerajaan Majapahit yang telah berjasa membangun kota
baru di Trowulan, kota yang dikelilingi parit yang bergunan untuk drainase
maupun pertahanan kota. Kota Trowulan yang kemudian dikenal juga sebagai Istana
Wilwatikta, memiliki benteng mengelilingi kota.
Dengan benteng dan sistem parit yang yang terpadu, Kota
Majapahit di Trowulan memiliki pertahanan yang baik, bisa memenuhi kebutuhan
air, bisa mencegah banjir dan dekat dengan lahan persawahan yang luas. Wilayah
Trowulan juga memiliki kandungan tanah liat yang berkualitas untuk bahan
bagunan candi dan maupun bangunan lainnya.
.
No comments:
Post a Comment