Pengantar: Indonesia merupakan
negara berbentuk republik, menganut sistem demokrasi, yang memiliki sejarah monarki
yang panjang. Bahkan Indonesia lahir dari dukungan kerajaan-kerajaan di
nusantara. Saat ini kerajaan dan kesultanan masih eksis dan punya pengaruh
dalam politik di Indonesia, khususnya di daerah. Untuk menijau fenomena dan pengaruh monarki dalam demokrasi di Indonesia, redaksi 1000monraki.com melakukan
wawancara dengan sosiolog dan pengamat politik, Dr. Arie Sujito, Dosen Pasca
Sarjana FISIP Universitas Gajahmada. Berikut hasil wawancaranya:
Salah satu problem serius dalam
demokrasi di Indonesia adalah corak budaya yang feodal dan patriarki. Kalau
kita lihat dalam rentang waktu sejarah di Indonesia, transformasinya belum tuntas. Tapi itu memang
realitas kita. Sejarahnya panjang dan dipelihara pada era kepemimpinan Presiden
Suharto, dimana kekuasaan dirancang dengan model sentralistik, otoritarian. Politik
sangat personal, semuanya tergantung Suharto. Politik personal ini adalah gaya
raja, dimana model kekuasaan yang dia terapkan merupakan pengejawantahan dari
corak kultur Jawa.
(Setelah) Orde Baru jatuh,
Suharto turun, demokrasi muncul secara teori, transformasi terjadi. Sayangnya
demokrasi yang diinstal dalam kultur orde baru menyisakan feodalisme sebagai
corak dari onarki dalam demokrasi di Indonesia. Ini memang merupakan ironi.
Demokrasi ini sebenarnya merupakan sistem pengelolaan pemerintahan yang
ditandai oleh partisipasi publik, yang juga mengontrol kekuasaan yang dipilih. Swicth
dari model monarki feodalisme ke demokrasi terjadi transformasi kekuasaan.
Cuma, transformasi kebudayaan yang tidak terjadi, masih banyak hal yang
mewarnai itu. Sistem pemilu sudah modern, kekuasaan negara formal modern, tapi
kultur ewuh pakewuh, patronase
politik masih terjadi. Tentu tidak seburuk di masa Suharto.
Bagaimana dengan otonomi daerah dan desentralisasi?
Ada otonomi daerah,
desentralisasi kekuasaan, ada perubahan sistem election, pembagian kekuasaan
juga jelas. Cuma prakteknya tidak seindah norma-norma konstitusional formal
tersebut. Maka dalam politik di Indonesia, mau tidak mau, masih ditandai oleh
oligraki. Sebagian besar sentrumnya pada aktor. Di parpol seperti PDIP ada
Megawati, di PAN ada Amrin Rais, di Demokrat ada SBY, di Gerindra ada Prabowo.
Ini terus melingkar-lingkar. Nesdem pun sebagai partai yang waktu itu
mengkampanyekan demokrasi, restorasi, tapi ada peran sentral Surya Paloh.
Begitu, demokrasi kita masih dibayang-bayangi corak feodalisme politik yang
secara kelembagaan disebut oligarki.
Faktanya dalam pemilihan oleh rakyat langsung, keluarga kerajaan tetap
populer dan menang, ada yang jadi kepala daerah, anggota DPD, anggota DPR dan
DPRD...?
Karena partainya sendiri. Partai
itu kan institusi modern dalam demokrasi, salah satu ukuran demokrasi adalah
adanya partai yang terlibat dalam election,
tapi memang tidak fit in antara sistem
demokrasi dengan actor agencies yang memelihara
patronase. Yang memburuk sebetulnya adalah ketika partai tidak membangun
rancang bangun kaderisasi dan leadership,
baik di daerah maupun di pusat, di pemerintahan maupun di parlemen. Jadinya seolah-olah partai mengalami defisit
pemimpin, sehingga dalam pilkada maupun pemilihan anggota DPR/DPR RI dan DPD
partai tidak mempromosikan kadernya dalam jangka panjang. Mereka mencari yang
lain, yaitu “siapa yang populer dan siapa yang mempunyai uang”. Ini
mendangkalkan.
Apakah hal tersebut menjadi masalah?
Orang jadinya tidak punya
sensitifitas bahwa pemimpin itu harus melalui proses, tidak instan. Muncul
fenomena orang yang sekedar populer, seperti artis, sekedar kaya seperti
pengusaha. Mereka mendekati partai untuk
menjadi calon partai, baik menjadi kepala daerah maupun wakil rakyat. Akibatnya
popularitas menjadi rujukan. Pemimpin adalah untuk melayani rakyat. Meskipun menjadi
prasyarat, apakah popularitas dan uang bisa melayani rakyat? Tidak ada itu. Ini
yang saya katakan partai politik tercerabut dari rakyat, karena pemimpin
(jadinya) tidak lahir dari rakyat. Mereka yang populer sering muncul di TV,
tidak pernah berbuat baik kepada rakyat, tidak pernah membela rakyat, dipoles
sedemikian rupa, muncullah politik pencitraan. Orang populer, kalaupun terpilih
toh tidak bisa ngapa-ngapain, rakyat
kecewa.
Bagaimana pun mereka kan dipilih oleh rakyat?
Mengapa rakyat memilih, karena
rakyat disodori pilihan yang dilematis. Memilih salah, kalau tidak memilih
sayang, akhirnya rakyat memilih berdasarkan manfaat langsung yang diterima,
muncullah money politic. Ini tidak
semata-mata kesalahan rakyat, karena rakyat tidak disodori pilihan (yang cocok).
Kalau rakyat disodori orang yang baik, punya reputasi dan dipromosikan oleh
partai, mungkin rakyat akan memilih itu.
Berkaitan dengan keluarga kerajaan yang masih eksis, ada beberapa raja
yang mengadu ke presiden, mereka minta difasilitasi oleh negara untuk menjadi
representasi adat dan budaya di daerah. Raja Larantuka misalnya, mengaku sering
dimanfaatkan oleh calon kepala daerah, setelah menang mereka diabaikan. Mereka
minta restu raja atau sultan agar bisa memenangkan kontestasi pilkada.
Bagaimana melihat fenomena ini? Bagaimana kalau keraton dikasih fasilitas
formal di daerah?
Selama ini negara mengakui
pilar-pilar kebudayaan itu, ada institusi keraton. Ada Kesultanan dan Pakualaman Jogja, Kasunanan Solo, Kasepuhan Cirebon, juga Kesultanan di Maluku. Mereka
selama ini mendapatkan dukungan anggaran dari negara, cuma besarannya
beda-beda. Ada yang dapat dari pemerintah pusat dan ada yang mendapatkan
alokasi anggaran dari pemerintah daerah . Cuma masalahnya, menempatkan mereka
sebagai apa? Sebagai entitas kebudayaan? Memang butuh recognisi, pengakuan. Kalau ada fenomena para raja menghadap
presiden, tergantung misi negara juga. Kalau itu dianggap sebagai cagar budaya,
sebagai pilar kebudayaan dalam masyarakat sipil, hal itu positif saja. Cuma di
era sekarang kan harus bisa diukur manfaat pengaruhnya.
Ada tarik ulur dalam pelibatan
lembaga kebudayaan dalam politik, ada yang setuju dan ada yang tidak. Tapi
rata-rata (fenomena) di Indonesia selalu saja, keraton di lokal itu dijadikan
nilai, restu dan sebagainya. Supaya, kalau direstui oleh raja akan mendapatkan
dukungan rakyat. Masalahnya kan seberapa jauh legitimasi raja di mata sosial,
di masyarakat, kemudian menjadi legitimasi di mata politik. Pengaruhnya
beda-beda di daerah. Tapi itu tidak ada yang salah, kalau politik
menggunakannya. Yang penting adalah akuntabel, tidak manipulatif, Ini PR Kita.
Di Gowa Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah mengambil alih istana dan
simbol Kesultanan Gowa. Menurut Anda bagaimana?
Begini, konsepnya adalah mendefinisikan
lembaga keraton, otoritasnya adalah otoritas kultural. Semestinya berjalan
beriringan saja. Sebagai sistem kenegaraan, tidak perlu itu dicaplok, dia biar hidup bisa berperan
untuk pilar kebudayaan, pilar sosial. Kalau itu dikuasai oleh bupati, kalau
bupati ada masalah keraton ikut. Ini sama dengan yang terjadi di Jogja, kami punya
ide Monarki Konstitusional, dimana keraton terlibat dalam hal-hal strategis saja
sebagai simbol masyarakat sipil. Jika ada keputusan pemerintah daerah, seperti APBD, yang
merugikan rakyat dia bisa interupsi. Jadi tidak harus memegang langsung dalam
eksekusi anggaran. Tapi ini kan punya sejarah yang panjang, tentu berbeda
dengan daerah lain.
Karena itu, idealnya, untuk
konflik keraton Gowa, menurut saya ditempatkan saja sebagai institusi
kebudayaan. Pengaruhnya lebih pada sosial dan kebudayaan, nilai moral etika dan
lainnya. Mereka bisa menjadi cagar nilai-nilai lokal yang makin tergerus. Itu
bisa lebih awet dan berkelanjutan. Cuma seberapa jauh pengaruhnya. Nah, untuk
yang begini ini negara harus mensubsidi. Tugas dan beban negara menjadi lebih
ringan. Ketika membangun kebudayaan tidak semata-mata diperankan oleh negara
tapi juga oleh kerajaan. Cuma ini adalah dua hal yang berbeda. Tidak bisa
bupati memerankan keduanya, mestinya bupati tidak ke situ.
Keraton juga punya standar nilai, moral dan juga punya metode untuk
melahirkan pemimpin, karena punya sejarah panjang. Apakah pemimpin yang lahir
dari keraton bisa klop dengan sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia?
Kalau saya melihatnya tidak hitam
putih. Keraton dengan kearifan lokal, menjadi faktor dalam mengatasi pola-pola
kepemimpinan formal, sebaliknya pola-pola model kerajaan tidak bisa diterapkan
dalam institusi publik, karena modelnya feodal, berbasis keturunan, garis
genetik, dan melalui pewarisan. Lembaga publik dalam sistem demokrasi kan tidak
begitu. Ini tidak bisa dicampur aduk, tapi nilai-nilai kearifan lokal yang
selama ini yang menjadi penjaga gawang adalah mereka (keraton) yang tidak
berbenturan dengan demokrasi. Contoh: cara kritik yang tidak harus mengumpat,
etika sosial terjaga, sengketa tidak harus ke ranah hukum karena bisa dirembuk
atau musyawarah kebudayaan, menjaga perbedaan dengan cara kerukunan, harmoni.
Nah, itu kan nilai-nilai yang bisa beriringan dengan demokrasi. Cuma memang
tidak semuanya, misalnya raja tidak bisa dikritik, feodal. Karena sikap protes
dan kritik merupakan bagian dari demokrasi. Jadi kita pilah saja, mana yang
memang fit in dan nyambung dengan demokrasi kita ambil.
Demokrasi bukanlah sistem terbaik, tapi merupakan sistem kekuasaan yang paling
minim resiko. Kalau kita bisa dialogkan budaya lokal (termasuk keraton) yang
hidup di masyarakat dengan demokrasi, mengapa tidak? Sebaliknya juga, hal-hal
konservatif yang memelihara otoritarianisme yang tumbuh di kerajaan tidak bisa
diterapkan dalam lembaga publik, karena ini demokrasi.
Saya membayangkan, bahwa monarki tidak selalu otoriter dan totaliter,
masih ada demokrasi, sepeti di Malaysia, Inggris, Thailand dll. Di sisi lain
negara republik tidak selalu menerapkan demokrasi, seperti di Korea Utara atau
China. Di Iran bahkan ada tuntutan untuk kembalikan Monarki. Untuk model
Indonesia komposisinya bagaimana?
Menurut saya, kita tidak cocok
dengan sistem liberal total, tapi tidak mau juga otoritarian. Demokrasi yang
bisa tautkan nilai-nilai unversal dengan keIndonesiaan. Jangan ingin mematikan
salah satu antara otoritarian atau demokrasi, itu yang tidak bisa. Hal yang
penting adalah tentang kemanusiaan, transparansi, partisipasi, akuntabilitas
tidak bisa diabaikan. Cara menyampaikan sesuatu, mungkin perlu menimbang nilai
lokal itu. Tapi bukan nilai lokal yang menegasi tumbuhnya partisipasi. Dulu ada
demokrasi terpimpin, tapi didistorsi oleh Orde Baru. Saya menyebutnya sebagai
demokrasi kontekstual. Ada prinsip-prinsip universal, tapi mempraktekkannya menimbang
lokalitas. Di Indonesia geopolitiknya plural, di Aceh ada Syariah di Papua ada
noken, dll. Tantangannya bagaimana formulasinya tanpa menghilangkan substansi
demokrasi. Indonesia sebenarnya punya praktek demokrasi sebelum demokrasi
seperti saat ini. Cuma itu kan dihancurkan oleh Orde Baru. Itu yang perlu kita
gali ulang. Konsep musyawarah, mempilih pemimpin melalui pembicaraan, pemimpin
harus melindungi rakyat. Ada konsep manunggale
kawulo gusti, itu kan konsep bersatunya raja dengan rakyat. Itu praktek
berdemokrasi, coma itu tidak hidup. Ketika krisis orde baru tumbang, semua jadi
berbalik, muncul demokrasi liberal. Demokrasi liberal ada kelemahan yang bisa
disubsidi oleh lokalitas tadi (kearifan lokal).
Saya melihat demokrasi saat ini demokrasi bergerak menjadi anti tesis
dari otoritarian di masa orde baru. Ada yang bilang ini kebablasan?
Menurutku, euforia demokrasi di
awal reformasi bisa dimaklumi, seperti orang sakit lama baru terbangun, ini
sedang menemukan pola. Sama juga Indonesia, juga sedang menemukan pola, ini
membutuhkan proses.
Ini sudah 20 tahun lo?
Itu harus berproses, Amerika juga
begitu. Bahkan Amerika sekarang mengalami decline. Mereka juga mengalami gejala
menarik. Timur Tengah juga sedang mengalami perubahan fundamental. Nah, tidak
bisa hitam putih membacanya. Apa yang kita pelajari di masa lalu, juga orde
baru yang mengedepankan stabilitas politik. Tapi yang minus adalah keadilan,
kesejahteraan dan demokrasi yang tidak ada. Tapi demokrasi juga tidak identik
dengan ketidakjelasan. Dalam demokrasi ada ketidak pastian situasi, itu yang
harus dibenahi. Stabilitas politik tidak identik dengan otoriter.
Ada yang mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia kebablasan..
Kalau ada yang menyebut demokrasi
Indonesia kebabalasan, sebetulnya bukan kebabalasan. Kita belum menerapkan
nilai-nilai demokrasi secara benar. Yang diurusi cenderung masalah teknis, ribut
soal kotak suara, jumlah kartu suara, daftar pemilih dan aspek teknis lainnya. Substansinya
tidak, misalnya cara mencegah politik uang misalnya. Memang ada upaya, tapi bawaslu
tidak punya kekuatan. Memang harus terus menerus ada
koreksi, ada dialektika antara tesis, antitesis, terjadi sintesis dan
seterusnya. Ini Demokrasi kita terus berproses, dan tidak harus berproses
sampai salah satunya hilang. Biar dialog, berikan keraton ruang untuk bicara,
karena ini yang saya sebut bahwa demokrasi kita harus diisi dengan kontestasi
perspektif. Lokalitas merupakan salah satu perspektif, dimana prinsip-prinsip demokrasi universal berdialog dengan kondisi lokal secara kontekstual. Lokalitas masyarakat Indonesia yang majemuk, yang beragam, harus diperhatian ***
No comments:
Post a Comment