Agus Wibowo
![]() |
Prasasti Turyan |
Kerajaan Medang
Wangsa Isyana didirikan oleh Mpu Sindok, mantan Mahamenteri Hino Kerajaan
Medang Mataram dari masa Rake Dyah Wawa. Ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab eksodus Kerajaan
Medang dari Jawa Tengah ke wilayah Jawa Timur. Dua diantaranya adalah letusan Gunung Merapi dan perebutan kekuasaan antara Wangsa Sanjaya
dan Wangsa
Syailendra yang
melibatkan Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa ini Raja Dyah Wawa tewas, dan Mpu Sindok yang menjadi Mahamentri I Hino memimpin eksodus keluarga kerajaan
ke arah timur Pulau Jawa. Berdasarkan Prasasti Turyyan yang ditemukan di daerah
Turen Kabupaten Malang, pusat kerajaan awalnya dibangun di daerah Tamwlang, yang diidentifikasi oleh sejarawan sebagai
daerah Tembelang di
Kabupaten Jombang saat ini.
Setelah
ditimbang bahwa Tamwlang mudah diserang oleh pasukan laut melalui Kali Brantas,
istana Kerajaan Medang dipindah ke daerah Watugaluh masih di daerah Jombang, kemudian
dipindahkan ke Istana Wwatan di
daerah Maospati Kabupaten Magetan. Ketika terjadi serangan besar dari pasukan Sriwijaya yang mendarat di Kali Brantas, pasukan Kerajaan Medang
bisa menahan serangan di Desa Anjukladang, meraih kemenangan besar dan Mpu
Sindok mulai membangun kekuatan militer dan meluaskan wilayah di Jawa Timur. Di
masa Mpu Sindok, Kerajaan Medang menguasai wilayah sampai Kabupaten Malang. Hal
ini dibuktikan oleh Prasasti Turyyan yang dibuat oleh Mpu Sindok yang di dalam prasasti ditulis
bergelar Sri Maharaja
Rakai Hino Sri Isanawikrama Dharmottunggadewa.
Kekuasaan
Kerajaan Medang terhadap wilayah bekas Kerajaan Kanjuruhan ini merupakan
penguasaan ulang yang pernah dilakukan oleh Kerajaan Medang di bawah pimpinam
Raja Dyah Wawa pada tahun akhir abad 9.
Ekspansi Kerajaan Medang ke Kerajaan Kanjuruhan di wilayah Malang ini ditulis
pada Prasasti Sangguran. Prasasti ini sudah menuliskan jabatan Mpu Sindok
sebagai Mahamenteri I Hino di Kerajaan Medang Wangsa Sanjaya, yang menunjukkan bahwa Mpu
Sindok adalah putra mahkota kerajaan.
Mpu Sindok
meninggal dunia digantikan oleh menantunya Sri Lokapala suami dari putri Mpu
Sindok, Sri Isyanatunggawijaya. Raja ketiga Kerajaan Medang adalah cucu Mpu
Sindok, Makutawangsawardhana yang berkuasa sampai 9xx. Raja Medang
Wangsa Isyana ke-empat adalah Darmawangsa putra Makutawangsawardhana.
Puncak Kejayaan
Kerajaan Medang
mengalami perkembangan pesat di bawah pimpinan raja Dharmawangsa. Raja keempat
Wangsa Isyana ini berhasil menciptakan keamanan, membangun kekuatan militer
yang tangguh dan membangun koalisi dengan kerajaan lain, salah satunya Kerajaan
Bedhahulu di Pulau Bali yang dipimpin Raja Udayana. Koalisi ini dikuatkan dengan tali perkawinan antara Raja
Udayana dengan adik Raja Dharmawangsa, yaitu Mahendrata.
Dengan kekuatan
pasukan dan koalisinya, Kerajaan Medang melakukan penyerangan beberapa kali ke Wangsa Syailendra sampai
kekuatan dari Kerajaan Sriwijaya yang ada di Pulau Jawa terusir kembali ke pusat Kerajaan
Sriwijaya di Sumatera. Dharmawangsa juga membangun pasukan laut, sehingga
membuatnya mampu melakukan ekspansi ke pulau lain, termasuk menyerang
Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera, meskipun gagal menaklukkan Kerajaan
Sriwijaya.
Ekspansi
Pasukan Darmawangsa ini tertulis dalam Berita China. Berita Cina yang berasal dari catatan
yang ditulis pada zaman Dinasti Sung, yang mencatat bahwa antara kerajaan yang
berada di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan. Diceritakan, Duta
Sriwijaya yang datang ke Dinasti Sung mau pulang dari Cina (tahun 990 M),
terpaksa harus tinggal dulu di Campa karena terjadi peperangan di Kerajaan
Sriwijaya. Pada tahun 992 M, pasukan dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan
Kerajaan Medang Kamulan dapat memajukan pelayaran dan perdagangan ke Cina. Pada
tahun 992 M berita China mencatat tentang datangnya duta persahabatan dari Jawa
ke Kerajaan di China.
Selain dari berita
China, ekspansi militer oleh pasukan Raja Darmawangsa dari Kerajaan Medang juga
tertulis di berita India. Berita dari India mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya
menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Chola untuk membendung dan menghalangi
kemajuan Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa.
Keruntuhan Kerajaan Medang
![]() |
Prasasti Pucangan |
Kerajaan Medang
mencapai puncak kejayaan pada tahun 1006, dengan menjadi kerajaan terkuat di
Pulau Jawa. Keluarga Wangsa Isyana memperkuat koalisi dan kekerabatan dengan Kerajaan
Bedhahulu melalui pernikahan putri Dharmawangsa dengan putra Raja Udayana,
yaitu Erlangga. Pesta perkawinan diadakan di Istana Wwatan. Tapi pesta
perkawinan Putri Kerajaan Medang dan Putra Mahkota Kerajaan Bali ini berujung
duka. Di saat keluarga kerajaan larut dalam sukacita pesta pernikahan,
istana Kerajaan Medang diserang oleh pasukan Kerajaan Lawram yang dipimpin raja
Aji Wurawari, yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan Kerajaan
Medang Wangsa Isyana berakhir tragis dan Raja Dharmawangsa tewas di istana.
Kejayaan Kerajaan Medang pun berakhir.
Erlangga dan
istrinya berhasil meloloskan diri bersama gurunya yang bernama Narotama. Mereka
menyelamatkan diri wilayah hutan di gunung (wana giri), termasuk Gunung Lawu,
dan daerah lain, termasuk Jombang. Setelah dalam pelarian selama 3 tahun,
Erlangga menyatukan keluarga dan pendukung Kerajaan Medang yang tersisa.
Erlangga kemudian membangkitkan kembali Wangsa Isyana dengan membangun istana
daerah dekat lereng Gunung Penanggungan yang dikenal sebagai istana Watan Mas.
Hanya saja kerajaan yang dibangun oleh Erlangga ini lebih dikenal sebagai
Kerajaan Kahuripan.
Raja-Raja Medang Wangsa Isyana
Kerajaan Medang
periode Jawa Timur yang dikenal sebagai Wangsa Insyana dipimpin oleh 4 orang
raja, yaitu Mpu Sindok, Sri Lokapala/Sri Isyana Tunggawijaya, Makutawangsawardana,
dan Darmawangsa Tguh. Masa kepemimpinan Mpu Sindok bisa dikatakan merupakan
masa konsolidasi di Pulau Jawa, yang bisa dilihat dari banyaknya pemberian
anugerah sima perdikan yang bisa dilihat dari prasasti yang dibuat, sedangkan
masa Darmawangsa merupakan masa ekspansi keluar pulau, yang bisa dilihat dari
berita Cina dan Berita India yang menunjukkan adanya ekspansi pasukan Medang
keluar Pulau.
Mpu Sindok
Dalam Kerajaan Medang periode Jawa Tengah, Mpu Sindok merupakan pewaris
tahta kerajaan. Dalam Prasasti Sangguran nama Mpu Sindok ditulis mempunyai
jabatan sebagai Mahamenteri I Hino pada masa Kerajaan Medang dipimpin oleh Dyah
Wawa. Setelah Dyah Wawa meninggal dunia, Mpu Sindok mempimpin keluarga kerajaan
untuk melakukan eksodus cukup jauh ke arah timur dan membangun pusat
pemerintahan di Tamwlang. Ibukota sempat dipindahkan ke Watugaluh, kemudian
dipindahkan lagi ke Wwatan di daerah Maospati Kabupaten Magetan.
Perpindahan besar-besaran ini, menurut analisis sejarawan, diidentifikasi
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya letusan Gunung Merapi, adanya
perebutan kekuasaan antara keturunan Sanjaya dan Syailendra, dan adanya
keterlibatan pasukan Kerajaan Sriwijaya dalam perebutan kekuasaan. Adanya
letusan gunung disebutkan dalam salah satu prasasti yang dibuat oleh Raja Dyah
Balitung, persaingan keturunan Sanjaya dan Syalendra diidentifikasi terjadi
antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa di pertengahan abad 9, sedangkan
keterlibatan pasukan Sriwijaya kembali terjadi pada tahun 937 ketika terjadi
perang di daerah Anjukladang.
Mpu Sindok meninggalkan banyak prasasti sebagai bentuk pengukuhan pemberian
anugrah kerajaan yang dinilai berjasa besar bagi kerajaan, baik di dalam
menaklukkan wilayah maupun dalam bertahan menghadapi serangan musuh. Diantara
prasasi yang dibangun oleh Mpu Sindah ditemukan di daerah Kabupaten Malang. Hal
ini diduga dilakukan karena wilayah Malang sudah pernah ditaklukan oleh
Kerajaan Medang di masa Raja Dyah Wawa, sebagaimana tertulis di Prasasti Sangguran
yang dibuat pada tahun 928, atas perintah Dyah Wawa kepada Mpu Sindok. Beberapa
prasasti yang dibuat oleh Mpu Sindok diantaranta: prasasti Turyyan, Prasasti
Linggasutan (929), Prasasti Gulung-Gulung (929), Prasasti Cunggrang (929), Prasasti
Jru-Jru (930), Prasasti Waharu (931), Prasasti Sumbut (931), Prasasti Wulig
(935), Prasasti Anjukladang (937). Dalam berbagai prasasati tersebut, Mpu
Sindok ditulis bergelar “Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isanawikrama Dharmottunggadewa”.
Sri Isyana Tunggawijaya
Mpu
Sindok meninggal pada tahun 947 dan digantikan oleh putrinya Sri Isyana
Tunggawijaya. Dalam Prasasti Pucangan yang dibuat oleh Raja Erlangga pada tahun
1041, putri Mpu Sindok memimpin Kerajaan Medang bersama suaminya yang merupakan
putra Raja Bali yang bernama Sri Lokapala. Tidak banyak sumber informasi
tentang masa kepemimpinan Sri Isyana Tunggawijaya dan Sri Lokapala. Salah satu
sumber informasi yang dikeluarkan oleh kerajaan adalah Prasasti Gedangan yang
dibuat pada tahun 950. Meskipun begitu, prasasti yang ditemukan bukan prasasti
otentik yang dikeluarkan oleh Sri Isyawan Tunggawijaya maupun Sri Lokapala,
melainkan prasasti salinan yang dibuat oleh Kerajaan Majapahit. Prasasti ini
berisi penganugerahan Desa Bungur Lor dan Desa Asana pada para pendeta Buddha
di Bodhinimba.
Makutawangsawardhana
Raja
Ketiga Kerajaan Medang Wangsa Isyana adalah Makutawangsawardhana. Tidak banyak
sumber informasi yang berasal dari prasasti atau dokumen kerajaan yang dibuat
di masa cucu Mpu Sindok ini. Sumber informasi yang cukup banyak ada di Prasasti
Pucangan, yang dibuat oleh Raja Erlangga, pada tahun 1041. Dalam prasasti yang
kini tersimpan di Museum Calcuta India ini, Makutawangsawardhana adalah putra
Sri Isyana Tunggawijaya dan Sri Lokapala. Makutawangsawardhana mempunyai putri
bernama Mahendrata yang menikah dengan raja Bali bernama Udayana.
Dharmawangsa
Pengganti
Makutawangsawardhana adalah Darmawangsa. Nama raja keempat Kerajaan Medang
Wangsa Isyana ini tertulis di Prasasti Pucangan sebagai mertua Erlangga. Meskipun
dalam prasasti yang dibuat tahun 1041 ini Darmawangsa tidak disebutkan sebagai
putra Makutawangsawardhana, beberapa ahli sejarah menyimpulkan bahwa
Darmawangsa adalah saudara Mahendrata, ibu Erlangga. Dalam hal ini Darmawangsa
mewarisi tahta dari Makutawangsawardana, sedangkan Mahendrata adiknya
dinikahkan dengan raja Bali yang bernama Udaya.
Selain
di Prasasti Pucangan, informasi tentang Kerajaan Medang di masa Raja
Darmawangsa juga dicatat dalam berita China dan Berita India. Catatan dari
China terutama berkaitan dengan persaingan antara Kerajaan Medang dengan
Kerajaan Sriwijaya. Berita dari India mencatat bahwa Kerajaan Sriwijaya
menjalin kerjasama dengan Kerajaan Kola di India untuk membendung pengaruh
Kerajaan Medang yang mulai melakukan ekspansi keluar Jawa. Berita Cina mencatat
adanya utusan atau duta persahabatan dari Kerajaan Sriwijaya yang datang ke
Cina tinggal di Campa selama satu tahun karena sedang terjadi perang di
Kerajaan Sriwijaya. Satu tahun kemudian, Kerajaan Medang juga mengirim duta
persahabatan ke Cina demikian juga Kerajaan Sriwijaya.
Di
puncak kejayaannya, Darmawangsa berusaha memperkuat koalisi dengan Kerajaan
Bedahulu di Pulau Bali. Dia menikahkan putrinya putra raja Bedhahulu, yang juga
merupakan keponakannya yang bernama Erlangga. Ketika pesta pernikahan sedang
berlangsung, Istana Kerajaan Medang diserang oleh pasukan Kerajaan Lawram yang
dipimpin raja bawahan Aji Wurawari. Penyerangan ini melibatkan pasukan Kerajaan
Sriwijaya yang mendukung pasukan Aji Wurawari. Serangan mendadak ini mengakhiri
kejayaan Kerajaan Medang, bahkan menewaskan Raja Darmawangsa.
Erlangga
dan istrinya berhasil melarikan diri dengan pengawalnya. Setelah mengembara
dari hutan ke hutan, ke gunung dan lembah sungai, 3 tahun kemudian Erlangga
mendirikan kerajaan di Lereng Gunung Penanggungan di tahun 1009. Pada tahun
1041, Erlangga menuliskan peristiwa serangan mendadak ke istana Medang di hari
pernikahannya ini dalam Prasasti Pucangan dan menyebutnya sebagai “Maha Pralaya”.
Peristiwa Penting
![]() |
Prasasti Jru Jru |
Ada
beberapa peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah Kerajaan Medang Wangsa
Isyana, diantaranya: (1) pemindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur, (2) pendudukan
wilayah bekas Kerajaan Kanjuruhan, (3) Perang Anjukladang, (4) ekspansi ke
Kerajaan Sriwijaya, dan (5) Mahaprlaya.
- Pemindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur dilakukan pada tahun 929 setelah Raja Dyah Wawa meninggal dan Mpu Sindok sebagai Mahamantri I Hino memegang kendali kerajaan. Pertama kali pusat kerajaan dibangun di Tamwlang kemudian ke Watugaluh di Daerah Jombang, kemudian dipindah ke Wwatan, di Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
- Pendudukan bekas Kerajaan Kanjuruhan dilakukan oleh Mpu Sindok untuk memastikan bahwa pendukungnya masih setia setelah Mpu Sindok menaklukkan wilayah Malang pada tahun 928. Peristiwa ini tertulis dalam Prasasti Sangguran yang dibangun oleh Mpu Sindok atas perintah raja Dyah Wawa. Pendudukan kembali wilayah bekas Kerajaan Kanjuruhan ini ditandai dengan banyaknya prasasti yang dibangun oleh Mpu Sindok di daerah Kabupaten Malang. Ada prasasti Turyyan di Turen, prasasti Gulung-Gulung, prasasti Jru-Jru dan Prasasti Waharu.
- Perang Anjukladang terjadi ketika ibukota sudah dipindahkan ke Wwatan. Dalam peristiwa ini Pasukan lain Kerajaan Sriwijaya melakukan penyerangan melalui Sungai Brantas, kemudian bergerak ke arah barat, dan ditahan oleh Pasukan Medang di Desa Anjukladang, yang kini menjadi Kabupaten Nganjuk. Atas jasa pemimpin desa yang membantu menahan serangan Pasukan Kerajaan Sriwijaya, Mpu Sindok memberikan anugrah sima swatantra yang dikukuhkan dengan pembangunan Candi Lor dan delengkapi dengan Prasasti Anjukladang.
- Ekspansi ke Kerajaan Sriwijaya dilakukan oleh raja keempat, yaitu Dharmawangsa. Ekspansi armada laut Dharmawangsa ini dilakukan pada tahun 992 setelah sebelumnya berhasil mengusir keberadaan pendukung Kerajaan Sriwijaya di Pulau Jawa. Dalam serangan ini pasukan Kerajaan Medang berhasil menduduki ibukota Kerajaan Sriwijaya tapi kemudian dipukul mundur kembali ke Pulau Jawa. Berita China menulis peristiwa ini dengan menceritakan duta persahabatan Kerajaan Sriwijaya yang tidak bisa pulang karena sedang terjadi perang di Kerajaan Sriwijaya.
- Mahapralaya yang berarti kematian besar menunjuk peristiwa penyerangan pasukan Aji Wurawari ke istana Kerajaan Medang pada saat berlangsung pesta pernikahan putri Darmawangsa dengan putra raja Bali Udayana, yang bernama Erlangga. Dalam serangan ini istana Kerajaan Medang hancur dan Raja Darmawangsa tewas. Serangan mendadak yang didukung oleh pasukan Kerajaan Sriwijaya ini dicatat dalam Prasasti Pucangan yang dibuat pada tahun 1041 atau 35 tahun setelah peristiwa.
Peninggalan Kerajaan Medang
Ada beberapa
bukti sejarah yang menjelaskan keberadaan Medang, terutama berupa prasasti
batu, baik yang dibangun di masa Mpu Sindok sampai dengan Erlangga mendirikan
Kerajaan Kahuripan. Beberapa prasasti ini diantaranya Prasasti Turyyan
yang ditemukan di Kecamatan Turen di Malang, Prasasti Anjukladang di Kabupaten
Nganjuk, dan Prasasti Pucangan yang ditemukan di lereng Gunung Penanggungan.
Prasasti Turyyan merupakan tugu batu untuk pegukuhan pemberian anuegrah sima
perdikan kepada penduduk daerah Turyyan. Prasasti Anjukladang merupakan tugu
batu bertulis yang dibuat oleh Mpu Sindok untuk mengukuhkan pemberian anugerah
sima perdikan kepada penduduk daerah Anjukladang.
Prasasti
Pucangan dibuat oleh Raja Airlangga, yang dibangun di Gunung Pucangan. Prasasti
Pucangan merupakan informasi paling lengkap tentang keberadaan Kerajaan Medang
di Jawa Timur, di bawah kepemimpinan Wangsa Isyana. Selain menjelaskan silsilah
Raja Erlangga mulai dari Mpu Sindok, Prasasti Pucangan menceritakan peristiwa
penyerangan oleh Kerajaan Lawram yang terjadi di hari pernikahan Erlangga dengan
putri Dharmawangsa. Prasasti Pucangan dibawa oleh Stamford Raffles ke India di awal
abad 19 untuk dipersembahkan pada atasannya Lord Minto, dan hingga saat ini ada di Museum Kalkuta di
India.
Prasasti Turyan
(929).
Prasasti Turyyan dikenal juga
dengan sebutan Prasasti Watu Godeg karena ditemukan Kampung Godeg Kelurahan
Tanggung, Kecamatan Turen Kabupaten Malang. Prasasti ini berbentuk lempeng batu
setinggi 130 cm, lebar 118 cm dan tebal 21 cm, yang masih berdiri di tempatnya.
Prasasti Turyyan dibangun sebagai pengukuhan atas pemberian tanah oleh Mpu
Sindok kepada kepada tokoh Desa Kulawara untuk mendirikan bangunan suci. Naskah
dalam prasasti ini ditulis bolak-balik, di bagian depan terdiri dari 43 baris
dan di bagian belakang terdiri dari 32 baris. Dari Dari hasil riset JG de
Casparis dalam tulisannya “Where Was Pu
Sindok’s Capital Situated?” diketahui struktur Kerajaan Medang yang terdiri dari
Rakai, Rakryan, Samgat, Pu, Sang Dyah, dan Si.
Mpu Sindok menjadi
Raja Medang sebagai pendiri Wangsa Isyana, seperti bisa dilihat pada gelarnya
“Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isanawikrama Dharmottunggadewa”. Prasasti ini
berisi tentang permohonan Dang Atu Mpu Sahitya pada Mpu Sindok, agar tanah di
sebelah barat sungai desa Turyan dijadikan bangunan suci. Prasasti ini
merupakan satu-satunya sumber informasi bahwa sebelum beristana di Wwatan di
daerah Magetan, Kerajaan Medang mempunyai pusat kota di Tamwlang atau Tembelang
di Kabupaten Jombang saat ini.
Prasasti
Gulung-Gulung (929)
Prasasti ini
ditemukan di Kecamatan Singasari Kabupaten Malang, sehingga prasasti ini juga
dikenal sebagap Prasasti Singasari 5. Prasasti ini berupa batu yang dibentuk menjadi
lempengan yang didirikan tegak yang dibentuk limas berukir di bagian atasnya.
Naskah ditatah dalam aksara Jawa Kuno dalam Bahasa Sanskerta. Prasasti ini
berisi tentang pemberian anugrah sima perdikan bagi lahan pertanian di
Gulung-Gulung. Tertulis dalam prasasti bahwa Rakryān Hujung pu Maduraloka memohon
kepada Śrī Mahāraja Rake Halu Pu Siṇḍok Śrī Iśānawikrama Dharmottuṅgadewa agar
diperbolehkan menetapkan sebidang sawah di Gulung-gulung yang telah dihadiahkan
kepadanya seluas 7 tapak dijadikan sima. Ia juga memohon tambahan, berupa
sebagian hutan yang terletak di bantaran sungai agar juga dijadikan śīma.
Tujuannya untuk dijadikan tanah wakaf (dharma ksetra), berupa tanah sawah di
Kuśāla bagi bangunan suci Rakryān Hujung, yaitu sang hyang mahāprāsāda di Desa
Hemad. Penghasilan sawah itu akan dijadikan persembahan bagi sang Hyang Kahyaṅan
Paṅawan.
Prasasti Cunggrang
(929)
Prasasti ini ditemukan di Dusun Sukci, Desa
Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini berbentuk tugu batu yang
dibentuk lempeng yang melebar di didi atasnya. Dari naskah yang diukir di batu,
prasasti ini dibuat pada tahun saka 851/929 M, atas perintah raja Medang yang bergelar çrī mahārāja rake hino pu sindok çrī īçāna wikrama dharmmottungga.
Isi dari Prasasati Cunggrang adalah penetapan
Desa Cunggrang sebagai daerah perdikan yang bertugas sebagai penjaga pertapaan
di Pawitra yang ada di Gunung Penanggungan.
Prasasti Cunggrang juga menyebutkan tentang adanya pancuran yang diyakini
adalah Candi Belahan/Patirtan Belahan pada kalimat “sang hyang tīrtha pancūran ing
pāwitra”
yang berarti pancuran atau patirtan yang suci di Gunung Pawitra.
Prasasti Jru-Jru
(930)
Prasasti Jeru-Jeru ditemukan di daerah Singosari, Kabupaten
Malang, sehingga dikenal juga sebagai Prasasti Singasari IV.
Prasasti Jru-Jru. Naskah prasasti ditatah dalam lempeng batu besar berbentuk
seperti halaman buku dengan dihiasi gunungan. Prasasti dalam kondisi bagus
tersimpan di Museum Nasional di Jakarta, dengan nomor inventaris D.70.
Prasasti
Jru-Jru menyebutkan bahwa pada bulan Bhadrawada tanggal 11 Krsnapaksa tahun 852
Saka (26 Mei 930 M) Rakryān Hujung memohon kepada raja Pu Sindok agar diperkenankan
menetapkan Desa Jru-Jru yang merupakan anak Desa Linggasutan yang masuk wilayah
Rakryān Hujung sendiri, menjadi wakaf berupa sawah bagi bangunan suci Rakryān
Hujung, yaitu Sang Śāla di Himad. Permohonan itu dikabulkan raja.
Prasasti Waharu
(931)
Prasasti ini dikenal sebagai Prasasti Waharu IV berangka
tahun 853 Çaka atau 931 M yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok. Prasasti berupa lempeng
tembaga berukuran 36 x 10 cm sebanyak 6 buah. Setiap lempeng memuat 7 baris
tulisan yang ditulis pada kedua sisinya, kecuali lempeng pertama. Prasasti ini
ditemukan di daerah Gresik, Jawa Timur, merupakan prasasti dari Raja Pu Sindok
yang disalin kembali pada masa Majapahit. Kini disimpan di Museum Nasional,
Jakarta, dengan nomor E 20 a-f. Prasasti ini diantaranya dialihaksarakan oleh Boechari
dan A.S. Wibowo pada tahun 1985/1986.
Prasasti Waharu
dibuat sebagai pengukuhan pemberian anugrah bagi penduduk Desa Waharu karena
pemimpinnya senantiasa berbakti kepada raja terutama, ikut terlibat dalam peperangan,
pada waktu Mpu Sindok hendak membinasakan musuh-musuhnya yang dianggap sebagai
perwujudan kegelapan. Meskipun ditemukan di Gresik, prasasti ini dimaksudkan
sebagai pengukuhan bagi Desa Waharu yang terletak di Wilayah Kabupaten Malang
yang kini dikenal sebagai Lowok Waru.
Prasasti Anjukladang (937)
Prasasti Ajukladang
ditemukan di Desa Candirejo, Loceret, Nganjuk. Prasasti ini dinamakan sebagai
Prasasti Ajukladang berdasarkan nama daerah yang diberikan anugrah perdikan
oleh Mpu Sindok. Prasasti ini juga dikenal sebagai Prasasti Candi Lor karena
ditemukan reruntuhan Candi Lor. Saat ini Prasasti Ajukladang menjadi koleksi
Museum Nasional di Jakarta.
Dari beberapa
tulisan didapatkan keterangan bahwa "Raja Pu Sindok telah memerintahkan
agar tanah sawah di Anjukladang dijadikan sima dan dipersembahkan kepada
Bathara di Sang Hyang Prasada Kabhaktyan di Sri Jayamerta, Dharma dari Samgat
Anjukladang". Menurut J.G. de Casparis, penduduk Desa Anjukladang mendapat
anugerah raja dikarenakan telah berjasa membantu pasukan raja di bawah pimpinan
Pu Sindok untuk menghalau serangan tentara Malayu (Sumatera) ke Mataram Kuno
yang pada saat itu telah bergerak sampai dekat Nganjuk. De Casparis juga
menuliskan bahwa dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Pu Sindok mendirikan
tugu kemenangan setelah berhasil menahan serangan raja Malayu, dan pada tahun
937 M, tunggu tersebut digantikan oleh sebuah candi. Kemungkinan besar bangunan
suci yang disebutkan dalam prasasti ini adalah bangunan Candi Lor yang terbuat
dari bata.
Melengkapi
prasasti-prasasti di atas, ada beberapa prasasti lain, diantaranta Prasasti
Linggasutan (929) yang merupakan
prasasti penetapan desa Linggasutan, wilayah Rakryan Hujung
Mpu Madhura Lokaranjana, sebagai sima swatantra untuk menambah biaya pemujaan
bathara di Walandit setiap tahunnya.
Juga ada Prasasti
Sumbut (931) yang berisi tentang penetapan desa Sumbut sebagai sima swatantra, Prasasti
Wulig (935) yang berisi tentang peresmian bendungan di Wuatan Wulas dan Wuatan
Tamya yang dilakukan Rakryan Mangibil, dan Prasasti Gedangan (950) yang berisi
penganugerahan Desa Bungur Lor dan Desa Asana pada para pendeta Buddha di
Bodhinimba.
Sumber: Marwati Poesponegoro
& Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Balai
Pustaka; Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Bhratara;
Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). LKIS; Terjemahan Prasasti
Sangguran, Terjemahan Prasasti Pucangan, Terjemahan Prasasti Jru-Jru.
No comments:
Post a Comment